Kebetulan seakan mewarnai pertemuan tiga lelaki di Kafe Samara tersebut pada senja. Urutan pertama yang hadir adalah Guntur, disusul Javis, terakhir Genta dengan wajah lelah khas orang pulang kerja. Maklum, lelaki chindo itu datang selepas menyelesaikan operasi yang memakan waktu lima jam.
“Lo ngindarin gue mulu perasaan, Ta!” Javis berkata usai bersalaman dengan beradunya tinju.
“Tiap ada reuni sibuk, sibuk, sibuk mulu,” papar Javis berusaha mengembalikan sifat biasa antara mereka.
Rahasia telah terungkap dalam diam. Genta, Javis, dan Rachel memang terikat benang merah dulu. Tidak ada acara pukul-pukulan. Hanya saja, usai saling tahu perasaan masing-masing, kecanggungan mendera. Mereka pun mulai asing tanpa canda.
“Yah agak sibuk. Sorry. Soalnya jadwal enggak nentu. Apalagi pas kemarin Guntur ngajak reuni, gue kebetulan pindah tugas ke sini.” Genta menjawab dengan nada yang lumayan canggung.
Ada rasa terkejut kala tahu bahwa Javis juga diajak dalam pertemuan kali ini. Akan tetapi, Genta berusaha menguasai diri. Melempar senyum, lelaki itu berusaha menanam rasa nyaman.
“Dokter terkenal pasti gitu.” Guntur mencibir lantas ketiganya terkekeh pelan.
Berbincang tentang pekerjaan pun dilakukan selepasnya. Ketiga lelaki itu mulai terlibat pembicaraan yang mengalir dibantu kecerewetan Guntur. Alhasil, sembari memilih minuman juga snack, tawa juga canda menggema.
“Ngomong-ngomong, otot lo bagus juga, Ta. Gue pengen nambahin tapi masakan Rachel enak-enak. Gak bisa gue tolak.” Javis berkomentar kala ketiganya sudah memesan menu.
Tanpa aba, Guntur menepuk perut Javis yang agak membuncit. Cukup keras sampai menimbulkan suara.
“Lo ngimpi? Buat otot kayak Genta tuh butuh pengorbanan. Diet kalori, minum susu, sama nge-gym teratur. Lah lo, liat lemak dikit aja mangap.” Mulut pedas Guntur pun mulai beraksi.
Namanya lelaki. Bercanda dengan fisik justru tak menghadirkan sakit hati. Ketiganya kembali terkekeh. Genta hanya tersenyum tipis karena nyata kegiatan nge-gym hanyalah pelarian dari rumitnya kepala. Bisa dipastikan penyebabnya adalah tokoh ceritanya dulu, yang sial, kembali datang beberapa hari lalu.
“Iye-iye. Buncit-buncit gini, tapi gue paling berprestasi dari kalian.” Javis berkata dengan menepuk dada.
Kerutan di dahi Genta juga Guntur tercetak jelas. Prestasi dari mana? Dari alam maya? Javis memang menjadi arsitek, tetapi selama sekolah nilainya tak terlalu sempurna juga tidak di bawah rata-rata.
“Dari mana prestasinya, Vis? Gue gak amnesia ya. Lo paling badung di antara kita bertiga.” Guntur mula terpancing.
Javis hanya tertawa. “Gue paling berprestasi dalam mencetak gol. Dua buah produk sudah tercipta. Sedangkan lo Guntur? Produk lo masih dalam proses pembentukan dan penyempurnaan. Dan untuk Genta ... belum memiliki mesin sandingan untuk membuat produk. Jadi, gue paling perkasa dan ... berprestasi.” Javis berkata dengan penjelasan panjang.
Otak Genta terlalu lelah hingga sulit mencerna. Guntur juga sama. Lelaki itu diam lama sampai pelayan datang membawa nampan dengan berbagai makanan juga minuman. Detak jam berlalu. Lima menit kemudian, Guntur menarik jambul Javis brutal.
“Bangke!” Lelaki itu mengumpat kala tahu khiasan dari Javis.
“Apaan?” tanya Genta belum terkoneksi otaknya.
“Lu pikir anak itu produk yang mudah dikembangkan? Prestasi-prestasi gundulmu!” ujar Guntur sembari menganiaya Javis.
Oh akhirnya Genta mengerti. Lelaki itu ikut andil dalam proses penganiayaan yang sedikit memancing keributan. Beruntung, pelanggan kafe sedang sepi. Sekitar dua orang di pojokan hanya tertawa melihat tingkah tiga lelaki dewasa yang tidak mencerminkan usianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
ChickLitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...