Yang Bermartabat

1.8K 193 30
                                    

Guntur memaksa diri menyanggupi, jika Lintang ingin sendiri atau pun pergi. Meski tak ikhlas, lelaki itu cukup sadar dan takut guna terlalu menyakiti sang istri lebih dalam lagi. Akan tetapi, permintaan Lintang agar Guntur menikahi Pelita bukanlah jalan keluar dari segala permasalahan. Justru mungkin akan menambah kekacauan. Guntur seratus persen yakin, segala pemikirannya adalah kebenaran.

Meninggalkan Lintang dengan sang mama, membuat Guntur lebih memilih melarikan diri ke kantin. Ia duduk di bangku paling pojok yang lumayan sepi. Memikirkan segala kepelikan, lelaki itu merasakan kepalanya pening sekali. Baru kala ia mendongak dan mencari pemandangan lain, Genta tiba-tiba muncul dari kejauhan dan pandangan mereka bertemu.

Wajah lelaki Chindo tersebut tak bersahabat. Terbukti, tak ada senyum seperti kala mereka bertemu dulu. Guntur maklum pun segera bangkit dan menghampiri Genta.

“Ta!” Guntur mencekal pundak Genta yang hendak pergi dari kantin.

“Apa?” Genta bertanya dengan intonasi dingin seraya menepis tangan mantan sahabatnya.

“Gue pengin ngomong sama lo. Please.” Guntur memelas.

“Apa lagi?”

Tata krama yang keluarganya tanamkan berguna sekarang. Genta jadi lebih memilih mengalihkan emosi kala ada keinginan untuk berkelahi. Jangan anggap, ia tak memiliki amarah guna ditumpahkan pada Guntur. Genta memiliki amarah tersebut, tetapi ia simpan dengan rapi. Meski segala usaha sia-sia saat melihat wajah Guntur kesekian kali. Di pikiran Genta hanya tersisa amarah juga cara mematikan lawan bicaranya kini seandainya tidak ada dosa juga hukuman pidana.

“Please gue mau ngomong bentar aja.” Guntur berkata lagi dengan nada memprihatinkan.

Baiklah, Genta sekadar menuruti walaupun demi apa pun ia ingin memukul Guntur. Mereka berakhir duduk berhadapan dengan sama-sama membuang pandang.

“Sorry, Ta, gue enggak tahu kudu ngomong apa lagi. Gue tahu, lo dah nganggep Pelita sebagai adik lo sendiri. Pasti, lo marah sama gue.” Guntur membuka topik pembicaraan dengan permintaan maaf yang menurut Genta memuakkan.

“Lintang udah tahu semuanya ....” Nada Guntur terdengar mengandung banyak luka.

“Dia udah tahu tentang Pelita juga Awan.”

Genta mendengar hal itu hanya mengumpati dalam hati. Bukankah pepatah sudah mengatakan, serapat-rapatnya kamu menyimpan bangkai, baunya akan ketahuan juga. Ia yakin, istri baik hati Guntur juga terluka. Akan tetapi, yang paling utama dikasihani dalam cerita mereka adalah Pelita. Wanita yang sudah sebatang kara justru dicampakkan selepas diperkosa. Setan bukan yang melakukan?

“Lintang pengin pergi, tapi ... dia juga pengin gue nikahin Pelita.”

Kepala Genta langsung berotasi sembilan puluh derajat. Awalnya, ia membuang pandang ke kanan. Lantas, kala mendengar permintaan gila untuk menikahi Pelita, ia menatap Guntur dengan nyalang. Kalau diumpamakan, hati Genta yang terbakar telah hangus mendengar kata pernikahan.

“Maksud lo?” tanya Genta tak lagi bisa diam.

Mulutnya seperti ingin berkata kasar. Namun, dalam hati selalu menggema satu kata; sabar.

“Gue disuruh nikahin Pelita sama Lintang sebagai bentuk tanggung jawab yang terbengkalai. Linta—”

“Istri lo goblok. Lo juga goblok.”

Ah, persetan dengan wibawa. Genta sudah tak bisa mengendalikan bibirnya. Memang dikira menikahkan wanita yang kemungkinan trauma selepas diperkosa dengan si pemerkosa adalah hal benar? Jelas, itu adalah neraka dunia.

Genta bukanlah ahli psikologi yang bisa tahu bagaimana gambaran perasaan seseorang lewat perilaku dan sebagainya. Namun, memiliki insting kuat sedari kecil, membuat lelaki itu tahu beberapa karakter orang kala berbicara atau bertatap muka.

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang