Pelita memutuskan mencari kerja part time sekaligus menjadi buruh cuci kesekian kali. Selama sebulan lebih bekerja dan merelakan tabungan yang ada, utang pun bisa dilunasi. Rasa syukur menjamur kala beberapa konsumen justru mengikhlaskan utangnya. Berlandaskan rasa percaya dan kasihan mereka rela melakukannya.
Cobaan tersebut tak berhenti. Seperti angin yang berembus, selama napas masih ada, selama itu pula ujian masih Tuhan berikan. Kali ini, Pelita dipaksa berpikir jawaban dari mulut kecil putranya.
“Mama, aku boleh ketemu papa?” Dulu, Awan selalu bermain dengan Pelita.
Sang putra tak pernah bertanya macam-macam. Kosa kata papa jarang digunakan. Pelita kira, Awan cukup bersamanya. Namun, nyata masa yang ia hindari datang juga.
“Danu setiap sore mancing sama ayahnya, Ma. Aku juga mau seperti dia.”
Apakah Pelita akan berdusta lagi? Wanita itu hanya tersenyum perih. Menceritakan segala kebaikan lelaki yang bahkan kini entah di mana, Pelita berpura-pura bahagia. Tak ada jalan lain, ia ingin pemikiran Awan bersih tanpa niat kejahatan.
Jika Pelita memilih jujur, apa Awan akan memahami? Apa anak kecil itu tak akan memupuk benci? Apa mentalnya tak akan terganggu dan bahkan dibully? Ah, tidak!
Pelita menjadi pendongeng handal dalam sekejap mata. Menceritakan sosok ayah untuk Awan, Pelita hanya berkata akan ada waktunya mereka bersua. Terkadang, Awan mendesak, marah, bahkan menangis ingin bertemu sang ayah. Berakhir, Pelita ikut menangis melihat putranya.
Tangis keduanya berbaur tepat saat Awan berusia tujuh tahun. Intensitas bertanya tentang sang ayah mulai memudar. Semakin dewasa usianya, Awan semakin jarang bertanya. Akan tetapi, sekalinya bertanya maka bocah itu menemukan kesedihan di mata sang mama.
Ah, Pelita menghapus air mata. Pandangannya kembali menatap Awan yang akan dewasa. Lamunan cerita usangnya telah selesai. Ia memilih membasuh muka di kamar mandi karena rasa panas menjalari mata.
“Ma?” panggil Awan lirih bertepatan Pelita keluar dari kamar mandi.
“Kenapa, Sayang?” Pelita buru-buru menghampiri.
“Aku tadi mimpi.” Awan bercerita sembari menggenggam tangan mamanya.
“Aku mimpi Mama meninggal. Mama jangan ninggalin Awan dulu, ya.”
Hati Pelita bergetar. Tanpa membuang waktu, Pelita menggeleng cepat. Matanya mengembun kesekian kali. Bolehkah ia merasa bangga pada Awannya? Bocah itu tak lagi bengal. Pelita bahkan memandang Awan seperti pribadi yang berbeda. Awannya lebih cepat tumbuh dewasa dalam sikapnya. Ah, Pelita tak menyangka.
“Awan sayang mama?” tanya Pelita memancing.
“Sayang banget.” Menjawab cepat, Awan antusias.
“Kalau sayang sama mama, kamu harus cepat sembuh ya.” Sembari mengecup pipi sang putra, Pelita memberi tatapan sendu.
Rasanya Pelita ingin memodifikasi takdir. Ia ingin Awan terlahir juga terbentuk dari cara wajar. Ia ingin menikah dan memiliki anak tanpa takut memikul dosa. Ya Tuhan, Pelita bahkan pernah merasa tak layak hidup di dunia.
Guntur dan keluarganya berhasil membuat Pelita tak memiliki harga diri. Menatap Awan, Pelita melantunkan doa. Doa ibu adalah doa paling mujarab katanya. Maka, dalam hening, dalam hati, Pelita mulai merangkai aksara.
Allah, maafkan hamba yang memang pendosa. Namun, hamba mohon jadikanlah putra hamba, Laksana Awan menjadi anak soleh dan mengenal agama. Hindarkan dirinya dari kesalahan seperti yang pernah hamba lakukan. Jagalah dia dalam jalan kebenaran. Hamba juga memohon, jadikanlah dia lelaki yang berbeda dengan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
Chick-LitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...