Sudah empat belas hari pindah kantor, Guntur melihat Pelita wara-wiri. Namun, keinginan untuk mengganggu juga merebut Awan mengkerdil begitu saja. Ia tak tahu dan berpikir keras sejak Lintang menyuruhnya mengintrospeksi diri. Tak lupa, sekarang ceramah ustaz mulai digaungkan tiap pagi. Guntur kadang pening mendengarnya. Akan tetapi, sebuah rasa tenang datang begitu saja.
Lantas, tibalah suatu pagi ceramah pada bab zina. Guntur mendengar hukuman bagi orang berzina adalah rajam. Istilah asing tersebut membuatnya bertanya-tanya. Melihat google dengan penjelasan lengkap. Secara garis besar hukuman tersebut dilakukan dengan cara melempari batu si pelaku zina sampai tak bernyawa. Begitu mengerikan hingga bulu roma Guntur berdiri. Tak lupa, ada juga hukuman lain bagi orang yang menuduh berzina.
Berlandaskan ceramah bab zina dan aduan Hariadi yang juga memunculkan desas-desus kabar penganiayaan CS terhadap Hariadi tempo hari, Guntur memutuskan mengecek CCTV. Berangkat ke lantai tiga, ia menaiki lift dalam keheningan juga kepala penuh pemikiran.
Pintu terbuka usai diketuk berkali-kali. Tanpa basa-basi, Guntur meminta rekaman dua minggu lalu di lantai dua yang kebetulan setiap sudutnya memiliki CCTV tersembunyi.
“Putar rekaman dua minggu lalu. Tepatnya di lantai dua. Dekat toilet wanita.” Guntur berkata singkat.
“Baik, Pak.”
Dengan gesit si engineering melakukan tugas. Tangannya menekan keyboard dengan kecepatan penuh. Berhasil mendapatkan, video rekaman pun diputar.
Melihat tayangan dengan mata kepala sendiri, Guntur terdiam dan mencerna segala. Pengakuan Pelita tak bisa menghentikan dirinya untuk berpikiran buruk. Akan tetapi, bukti nyata, wanita itu hampir dilecehkan dan berhasil melawan.
Rasa bersalah merambat begitu saja. Guntur tak bisa mengelak karena segala bukti menyumpal mulutnya. Ingin menerima kesalahan, tetapi masih ada sudut rasa yang pongah. Berakhir, desas-desus juga laporan Hariadi, Guntur abaikan. Akan tetapi, mulai ada keinginan untuk menghukum Hariadi dengan pemecatan. Ah, apa Guntur mulai peduli pada Pelita?
“Permisi, Pak.” Suara Pelita mengalun bersamaan ketukan pintu, menarik Guntur dari renungan panjang.
“Masuk.”
Jawaban dan Guntur membuat Pelita terdiam. Telinganya mendadak asing mendengar nada sopan tadi. Apa mungkin Guntur tengah berhalusinasi? Atau, lelaki itu tak menyadari Pelita ada di sini?
Melihat Pelita yang datang, Guntur menghela napas pelan. Memang ia berencana meminta maaf karena telah merendahkan harga diri wanita itu tempo hari. Nahas, mendadak segala berani yang dikumpulkan lenyap tak bersisa.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Pelita mencoba mencari tahu kebenaran di wajah lelaki yang setengah ia benci.
Guntur memberikan sebuah berkas. Niat hati ingin meminta maaf justru berubah menjadi rasa gengsi dan malas. Jika ego sudah bermain, bisa dipastikan ia akan menjadi manusia yang menang sendiri. Padahal, dengan meminta maaf pun tak membuat harga diri seseorang menjadi hina. Guntur memang kolot pemikirannya.
“Berkas tentang kerja sama. Sesuai janji, sesudah satu bulan akan ada kontrak resmi dalam jangka panjang dan tentunya sudah melalui rapat dengan agensi. Silakan dilihat poin-poinnya dan serahkan ke anggota kamu. Kalau sudah selesai dan mempertimbangkan, bisa langsung melakukan tandatangan kontrak.” Guntur berkata dengan profesional.
“Bisa kamu baca dulu. Menurut saya, segala poin sudah jelas,” tambah Guntur.
Melaksanakan perintah, Pelita membaca segala isi perjanjian kontrak dengan hati-hati. Segala poin yang disebutkan memanglah tak ada kecacatan. Segala peraturan menguntungkan kedua belah pihak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
ChickLitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...