Kabar kehamilan Lintang telah tersebar ke keluarga Guntur. Lelaki itu yakin jika sang mama juga papanya memiliki mata-mata guna memantau gerak-geriknya. Terbukti, mereka datang ke rumah Guntur tanpa berkabar dan secara tiba-tiba.
“Berarti enggak salah, keputusan mama sama papa buat jenguk kamu. Ternyata, calon cucu mama sedang proses berkembang.” Nyonya Sabilla tersenyum penuh haru.
Tak jauh berbeda dengan sang istri, Tuan Pranaja menatap Guntur juga Lintang dengan senyum penuh pemikiran. Rajutan masa lalu kelam sang putra selalu membayang. Tuan Pranaja yakin, Guntur belum berani memberikan Lintang segala kebenaran. Nyata, jelas, sang menantu masih seceria dulu.
“Jangan melakukan macam-macam, Guntur. Istri kamu sedang mengandung—”
“Guntur paham, Pa!” Guntur menyela karena tahu maksud ucapan sang papa.
Keputusan gila jika Guntur memaksa untuk mengungkapkan segala cerita. Selain membahayakan kondisi calon anak keduanya, hal itu juga pasti menyerang psikis Lintang. Guntur tidak sanggup dan tidak ingin terjadi sesuatu pada keduanya. Meski, tiap menit bahkan detik, pikiran Guntur juga menuju ke Pelita dan Awan.
Tuan Pranaja akhirnya ditinggal Guntur menuju ke kamar saat mereka terjebak di ruang tamu berdua. Rencana lelaki paruh baya itu guna berbicara panjang lebar dengan sang putra terpaksa gagal. Dapat ia rasakan Guntur mengalami banyak pikiran juga tekanan. Terlihat dari ekspresi wajah yang kuyu.
Sedikit sesal menghinggapi hati Tuan Pranaja. Ia merasa cukup terganggu kala mengingat bagaimana cara mendidik Guntur dulu. Dalam permasalahan yang terjadi, Nyonya Sabilla tak sepenuhnya salah, Tuan Pranaja juga merasa ikut andil dalam kekacauan yang terjadi.
Mengembuskan napas, Tuan Pranaja pun memasuki kamar tamu. Pandangan lelaki paruh baya itu bertemu dengan sang istri. Lantas, keheningan tetap setia bertakhta. Lambat laun, rasa sesal juga melubangi hati wanita paruh baya tersebut. Tentang Pelita juga segala permasalahan yang ada justru membuat kabar kehamilan Lintang tak lagi terdengar amat menyenangkan.
“Tidurlah.” Tuan Pranaja berkata usai membaringkan diri di samping sang istri.
“Apa Guntur masih marah?”
“Wajar jika dia marah,” balas Tuan Pranaja sekenanya.
Nyonya Sabilla mengerti. Raut wajah Guntur masih dingin dengan amarah membara. Ia sedikit kecewa dengan keadaan yang melanda. Kecewa pada diri sendiri pun telah menggerogoti kian bertambahnya hari.
Dua orang paruh baya tersebut memejam dengan pikiran berantakan. Sebagai orang tua, tidak mungkin mereka membiarkan Guntur menghadapi permasalahan besar ini seorang diri. Untuk kesekian kali, sesal kembali menghampiri. Jika saja semua tidak terjadi.
Di kamar lain, pada pukul dua dini hari, Lintang terbangun dari tidurnya. Rasa ingin buang air kecil sungguh mengganggu akhir-akhir ini. Walhasil, dengan rasa malas yang bertumpuk, ia menuju kamar mandi.
Memakan waktu sedikit, Lintang kembali ke kasur hendak membaringkan diri. Akan tetapi, ponsel Guntur yang menyala menarik Lintang guna kembali terjaga. Tangan wanita itu terulur guna melihat ada notifikasi apa. Ternyata hanya pesan pemberitahuan dari operator.
Entah mengapa, jari Lintang tiba-tiba memencet aplikasi berwarna hijau. Pesan watssapp Guntur banyak yang tidak dibaca. Lintang hendak tertawa karena merasa suaminya orang yang sangat penting hingga banyak pesan bertumpuk. Hatinya lumayan menghangat kala tahu kontak WA-nya disematkan dan diberi emoticon love.
Calon Ibu ❤️, Lintang membaca berkali-kali dan merasa bahagia sendiri. Tangannya kembali menggulir pesan secara random hingga sampai di kontak bernama Rachel. Ingatan Lintang langsung menuju ke dalam cerita Guntur tentang tiga teman baiknya yang sekarang sukses. Genta, Rachel, dan Javis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
ChickLitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...