Panggil Aku Papa!

1.3K 153 10
                                    

Usai Magrib, tepat saat hujan deras melanda, Guntur dan kuli yang memicu kecelakaan kerja, datang bertandang. Sebagai tanggung jawab, Guntur memang sengaja menyuruh Andi mengembalikan motor Pelita yang tertinggal di gedung. Memenuhi sikap sopan santun, Pelita menyambut tamu kebesaran dengan ramah tamah juga sebuah tawaran kopi. Tidak punya hati jika dia hanya berterima kasih saja.

Kerap kali, dalam dunia nyata, Pelita mendengar ungkapan bahwa tak ada yang gratis pada masa kini. Toh, ia menawarkan tersebut karena Guntur membawa salah satu bawahannya, bukan sendirian saja. Pintu juga sengaja dibuka untuk menghindarkan buruknya prasangka tetangga.

“Silakan diminum kopinya, Pak.” Pelita mempersilakan selepas berhasil membawa secangkir kopi dan satunya dibawa Awan.

Jahitan di lengan kanan Pelita masih basah. Mendengar fakta itu, Awan langsung peka dan menawarkan diri membawa satu cangkir kopi lainnya. Sebuah sikap sederhana, tetapi menunjukkan bakti yang luar biasa. Ah, begini saja, Pelita terharu. Awannya memang selalu paham apa yang Pelita mau.

“Diminum, Om, kopinya.” Awan berkata dengan senyum cerah usai melaksanakan tugas.

“Anaknya Bu Pelita pintar, ya,” ungkap Andi dengan senyum lebarnya.

Aksi damai telah ditempuh antara Pelita dan Andi. Pak Mandor Wira pun tak bisa menyalahkan siapa-siapa, walau sebenarnya ia kesal sendiri mendengar segala kronologi dan cerita saksi. Kebesaran hati Pelita yang memaafkan Andi hingga membuat masalah usai begitu saja. Dari video call sore tadi, segala masalah telah clear. Tidak ada sanksi, denda, dan pemecatan. Hanya ada peringatan guna lebih berhati-hati.

“Anak siapa dulu? Anaknya Mama Pelita pasti pintar.” Sebelum Pelita berkata, Awan lebih dulu menyahut.

Mendengar jawaban menggemaskan tersebut, tawa pun menggema. Hanya Guntur yang menarik senyum tipis. Selain itu, reaksi tak kasatmata lain ikut terpercik. Dadanya menghangat dengan rasa yang tak bisa dijelaskan oleh kata.

Bincang-bincang terjadi di antara Andi dengan Pelita. Sisanya, Awan sesekali menyahuti. Guntur hanya memperhatikan dalan diam seakan membaca situasi.

“Bisa saya berbicara dengan Pelita berdua?” tanya Guntur secara tiba-tiba.

Andi terkejut. Pelita terkesiap dengan mata membola. Dua reaksi tersebut menghantarkan banyak tanya.

“Saya ingin bertanya banyak hal, kebetulan ada masalah privasi pekerjaan.” Jawaban Guntur melenyapkan segala praduga.

Andi keluar ke teras ditemani rinai hujan yang masih deras. Tinggallah Pelita, Awan, dan Guntur dan keheningan.

“Bisa dimulai, Pak?” tanya Pelita tak tahan usai menyuruh Awan untuk pergi ke meja belajar yang berada di sudut ruangan.

Bersama Guntur, ketakutan memuncak. Entah kenapa, otak Pelita langsung terinduksi untuk memikirkan hal-hal kriminal yang kemungkinan akan lelaki itu lakukan. Pelita terlalu over thinking. Dengan segala kata, ancaman, juga kekuatan Guntur, Pelita tak ingin terjerat dalam jebakan. Ia harus berhati-hati walaupun Guntur sempat terlihat berbudi baik akhir-akhir ini.

“Apa kamu masih kekeuh tentang status Awan?”

Benar saja, Pelita baru mendengar pertanyaan pembuka, tetapi rasanya ia seakan menyantap bara. Ia benar-benar tidak suka diusik tentang Awan dan statusnya.

“Bapak Guntur ... apa tidak ada hal lain yang ingin disampaikan? Katanya ini tentang pekerjaan. Kenapa merambah ke ranah privasi?” tanya Pelita membekukan suasana.

Guntur menyerah. Ia menghela napas panjang dan mengangguk. Baiklah, Pelita keras kepala dan apa memang Guntur terlalu percaya diri jika memprediksi Awan adalah putranya? Bahkan malam itu ....

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang