Pelita kembali ke ruangan Awan. Sang putra masih betah memejam dengan napas tenang. Memandang ruangan, Pelita akhirnya mendudukkan diri ke kursi. Otaknya terus berputar membuka lipatan masa lalu yang harusnya haram untuk dikenang.
Dua puluh dua tahun lalu, Pelita pernah mencicipi bahagia. Tinggal di rumah sederhana dengan keluarga kecil yang utuh juga lengkap perannya. Pelita biasa digendong dengan penuh cinta oleh sang ayah, didongengi oleh sang ibu, kemudian mereka tertidur dalam posisi berpelukan, penuh keharmonisan kala hari telah malam.
Pelita mengira saat ayahnya jarang pulang, ibunya mulai marah-marah tak henti, dan tetangga yang terang-terangan mencaci dirinya adalah hal biasa. Nahas, sampai di suatu malam, Pelita mendengar bentakan juga tangisan pilu. Berakhir, ibu dan ayahnya pergi beserta deru mobil yang selaras dengan derasnya hujan.
Mereka akan kembali. Begitu pikir Pelita. Bukankah mereka pergi malam-malam berdua karena takut membangunkan Pelita dari tidur lelapnya? Pemikiran sederhana gadis kecil itu tak terbukti. Pagi hari, Pelita seakan kehilangan mentari.
Ia masih menyangkal bahwa ini malam hari dan terlampau susah terbangun dari mimpi. Kecaman tetangga serta bisik-bisik yang terdengar memaksanya untuk mengerti. Pelita didesak agar tahu dan menerima bahwa ayah juga ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil tepat pukul tiga dini hari.
Kala tangis Pelita belum kering, seseorang datang penuh amarah menyala. Memaki semua orang lantas menyumpahi Ibu Pelita masuk ke Neraka. Pelita kecil hanya mampu menangis sebagai ungkapan rasa kesalnya. Namun, tangisan itu justru dibalas tawa membahana.
Belum kering luka dipaksa kehilangan dua orang tersayang, lantas tiba-tiba bertambah atas sikap paman juga tante dari ayahnya. Secara terang-terangan, sebelum tetangga juga para pelayat pulang, mereka menjaga jarak. Kala Pelita hendak memeluk, mereka menghindar bahkan mendorong tubuh ringkih itu. Pelita hanya mampu ditegarkan oleh tetangga yang peduli dan jumlahnya cuma bisa dihitung jari.
“Pelita ikut sama siapa?” Tanya itu muncul tanpa bisa dicegah.
Selama ini, Pelita memiliki dua penopang kokoh. Ibu tempatnya mengadu dan ayah tempatnya ditenangkan. Dua penopang hidupnya patah, lalu siapa tempat untuk bersandar? Pelita tak paham juga kebingungan.
“Anak jalang jangan harap mendapat warisan dari suami saya!” Kalimat itu diucapkan fasih dari wanita cantik yang tadinya menyumpahi Ibu Pelita.
Pelita ingin berkelit. Dadanya marah meski tak tahu apa arti “jalang” itu sendiri. Namun, ekspresinya terbatasi. Wajah penuh luka yang hendak menangis itu justru dibuat menunduk tanpa ditenangkan. Diberi kalimat menyakitkan yang harusnya tak dilontarkan.
“Aku juga gak mau bawa dia.” Paman Sammy berujar tegas.
“Aku juga, Mbak Sela. Buat keluarga sendiri aja masih kurang.” Tante Ammy menambahi.
Pelita menatap orang dewasa itu penuh tanya. Memperhatikan satu persatu wajah dengan tatapan iba. Berakhir, air mata Pelita tak bisa keluar meski rasanya menyesakkan dada.
“Rumah ini punya saya! Kamu pergi! Ibumu sudah mengambil suami saya dan saya meminta ganti rumah ini. Impas, 'kan?” Tanya Sela dan ditujukan pada Pelita.
Gadis kecil itu hanya menatap bingung. Tetangga yang peduli ikut menimpali. Tetangga yang tak suka mendukung segalanya.
Pelita pergi ke panti asuhan diantarkan tetangga selepas perundingan panjang. Meski Pak Lurah, Ketua RT, dan Ketua RW mengadakan musyawarah kekeluargaan, tetap saja keputusan tak bisa ditawar. Para keluarga dari ayah Pelita menolak guna bertanggung jawab berdasarkan alasan Pelita hanyalah anak dari selingkuhan. Begitu juga istri pertama Ayah Pelita, Sela tetap pada keputusannya untuk mengambil gono-gini. Istri sah tetap memenangkan segala perkara daripada istri siri.
Apalagi, Sela menunjukkan bukti penunjang bahwa rumah yang Pelita tempati dibeli dari uang perusahaannya. Wanita kaya dengan luka itu bahkan akan melaporkan perkara kepada polisi jika keinginannya tak dikabulkan. Musyawarah berakhir dengan hasil Pelita dititipkan di panti asuhan.
“Ibumu memang meninggal sebelum aku memberi balasan setimpal. Tapi aku bersumpah kamu akan menanggungnya anak jalang!” Kalimat bisikan dari Sela masih segar di ingatan.
Dengan gerakan meyakinkan, semua damai. Para paman, tante, juga Sela memeluk Pelita usai musyawarah selesai. Kesempatan yang terbuka digunakan Sella memberikan bisikan penuh umpatan yang menggambarkan luka.
Sela mungkin memanglah istri yang tersakiti. Akan tetapi, menyeret anak kecil yang tak tahu apa-apa, yang bahkan baru kehilangan kedua orang tuanya, pada permasalahan orang dewasa adalah kesalahan besar. Luka menutupi mata serta nuraninya.
Semua barang Pelita dibereskan oleh Tante Lastri. Tetangga yang anaknya kerap kali diberi mainan serta baju itu menatap iba gadis kecil di hadapan. Menaruh Pelita di panti asuhan adalah mimpi buruk yang tak pernah dibayangkan.
“Tante ... jalang itu apa?” Pelita bertanya dengan binar di mata yang sarat akan luka.
Tante Lastri tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya bungkam, matanya memejam. Berakhir, tangisnya luruh juga. Di balik segala berita buruk yang terbongkar, keluarga Pelita dikenal sebagai keluarga dermawan. Sering mengunjungi panti asuhan karena Tante Lastri pernah memergoki. Seperti mimpi kala harus mengantarkan gadis manis di hadapannya untuk menetap di sini.
“Pelita jangan nakal di sini, ya.” Tante Lastri berkata pelan mengabaikan tanya yang Pelita ucapkan.
“Tante tapi Pelita pengin tahu jal—”
“Pelita .... sudah malam, Tante Lastri pulang dulu ya. Kamu baik-baik di sini.”
“Tapi nanti Bella ikut ke sini ya, Tante?” tanya Pelita polos.
Hening. Tante Lastri memilih mendekap Pelita lama. Bella adalah anaknya yang sering diberi mainan bahkan makanan oleh Pelita maupun ibunya. Namun, mereka memang tak terlalu dekat akhir-akhir ini. Beredarnya issue istri kedua, pelakor, juga jalang membuat Tante Lastri takut mendekat dan membuat sekat.
Menumpahkan tangisan lagi, Tante Lastri mendekap Pelita lama. Gadis itu merasakan kehangatan pelukan seperti seorang ibu. Meski rasanya tak sama, tetapi mampu mengobati rindu.
“Tante pulang, ya, Pelita. Jaga diri. Jangan nakal.” Tante Lastri kembali mengabaikan pertanyaan Pelita.
“Makasih buat pelukannya, ya, Tante. Aku enggak jadi rindu ibu. Makasih juga sudah mengantar Pelita,” ujar Pelita sembari tersenyum meski matanya masih meninggalkan jejak sembab.
Tidak lama Lastri bangkit dari duduknya. Wanita itu terburu-buru pergi dan berakhir menangis tanpa henti di halaman panti. Senyum manis Pelita bagaikan pedang yang mampu mencabik hatinya. Melihat perlakuan tak adil pada gadis kecil itu tadi memantik rasa ingin memberontak. Namun, sekali lagi, Lastri tak memiliki kuasa guna menjadi pahlawan. Dirinya masih kekurangan. Alhasil, doa tulus terlantun dalam malam kala perjalanan pulang.
“Tuhan, jadikanlah Pelita seorang wanita yang gagah dan berani dalam tiap langkahnya. Jadikanlah dia manusia kuat tanpa cacat. Berikanlah ia kebahagiaan sekalipun telah disumpahi banyak orang dengan sebutan anak jalang.”
Doa tersebut tak terucap dan hanya mengendap di hati. Doa paling ikhlas akan terkabul atas kehendak-Nya. Tante Lastri memegang prinsip demikian.
Sebulan berlalu, Pelita mulai terbiasa. Ia tidak bisa dikatagorikan sebagai anak manja. Beruntung, sang ibu mengajarkan tugas bertahan hidup hingga Pelita tak terlalu susah beradaptasi. Tante Lastri mengunjunginya juga bersama Bella. Diberi jajan sederhana, Pelita senang bukan main. Takdir kembali berjalan sesuai yang digariskan.
Selepas pertemuan terakhir dengan wejangan, “Pelita harus bertahan”, Tante Lastri dan Bella tak pernah datang. Merasakan sakitnya rindu juga bisingnya panti, Pelita lewati sendiri. Meski berawal, malam-malam panjang ia harus kelaparan karena kadang jatah makan kurang. Walaupun, pada malam dingin Pelita merasakan dadanya penuh akan rindu hingga menangis dalam keheningan. Fase terbiasa akhirnya bisa didapatkan. Tepat setahun berada di panti asuhan, Pelita bisa mengontrol emosi diri.
Senyumnya kerap terbentuk. Di balik itu, luka di hatinya makin dalam mengetuk. Bahagia juga angin segar baru datang kala Pelita menginjak umur sepuluh tahun. Sepasang suami istri datang untuk mengadopsi dirinya. Merasa senang karena mendapat pengganti sosok orangtua yang tiada, Pelita seperti memeluk dunia. Nahas, angan-angan itu pupus begitu saja. Luka kembali datang dalam skala lebih besar tanpa diminta.
B e r s am bung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
Literatura FemininaMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...