Luka Lita (4)

1K 143 5
                                    

Pelita tahu. Ini sebuah kesalahan dengan cara melakukan larangan Genta. Terdesak ingin ke kamar mandi, gadis itu terbangun dari mimpi. Melewati ruang tengah yang diisi bincang-bincang ala anak muda, Pelita mampu bernapas lega.

Tak sia-sia kemahirannya dalam berjalan mengendap. Pelita mampu melewati Genta and the genk dengan selamat sentosa. Kamar mandi terletak di dekat dapur sebelah kiri. Pelita segera masuk. Panggilan alam lain ikut datang. Ia akhirnya menghabiskan waktu agak lama guna menyelesaikan dua hajatnya.

Pelita usai dan langsung hendak pergi. Nahas, seorang lelaki datang dan mencekal lengannya. Pelita terkejut. Namun, rasa terkejutnya melayang berserta alarm tanda bahaya yang berdentang.

Lelaki yang Pelita ketahui bernama Guntur itu langsung menyambar bibirnya. Menghiraukan penolakan, Guntur terus bertindak brutal. Pelita hendak memekik tetapi mulutnya dibekap. Ia diseret menuju kamar dekat dapur yang tak pernah ditempati.

Memberontak adalah usaha paling sia-sia saat Pelita telah terkapar di kasur lantai. Tubuhnya bergerak mencoba melawan. Sempat bekapan tangan Guntur terlepas karena Pelita hadiahi gigitan. Nahas, upaya Pelita tertolak ketika tiba-tiba Guntur melakukan hal di luar batas.

Tangis Pelita menggema bersama nama Genta. Sayang, lelaki yang ia harapkan jadi pahlawan tak mampu menyelamatkannya di detik paling krusial. Pelita pasrah bukan menikmati. Selamanya, dalam hidup, gadis itu tak pernah rela, hal paling berharga direnggut secara paksa. Pelita tak rela dan benci semua.

Azan Subuh, Pelita bangun dengan kenyataan pahit yang semula dikira mimpi. Ia hanya bisa berusaha tegar. Membersihkan diri di kamar mandi, Pelita kembali ke kamar semula. Sial, Guntur sudah bangun dari tidurnya.

“Kau menjebakku?” tuding lelaki itu tanpa mempertimbangkan perasaan si wanita.

Pelita tak menjawab. Ia memilih mengambil gelangnya yang tertinggal dan hendak pergi dari kamar. Nahas, Guntur kembali berulah. Mencekal lengan Pelita, lelaki itu juga menghadang langkahnya. Mata mereka saling menatap hingga dengkusan napas kasar menjadi pembuka percakapan.

“Aku enggak tahu gimana tapi ... ini alamatku kalau mau mengadukan sesuatu yang tidak diinginkan.”

Pelita dipaksa menerima alamat rumah Guntur. Ia tak menjawab dan memilih meremas kertas itu. Memendam segala seolah tak ada luka, Pelita menikmati saat-saat terakhir dengan Genta.

Malam-malam Pelita habiskan dengan pemikiran panjang tentang rencana masa depan. Ia berlarut-larut menyulam segala cita. Sampai, Pelita teledor menyadari semua.

Melihat kalender dengan prediksi masa subur, Pelita memastikan malam nahas itu tak menghasilkan apa-apa. Nyata, sebulan kemudian, dua garis merah ia dapatkan. Pelita sampai membeli banyak testpack untuk memastikan bahwa hanya ada kesalahan. Sayangnya, Pelita mengandung adalah kebenaran.

Menyesali takdir, Pelita mulai berpikir menggugurkan. Ia juga menyalahkan diri karena tak meminum pil pencegah kehamilan sebelum semuanya terjadi. Segalanya rumit dan Pelita tak pernah berbagi cerita. Ia tetap bersikap baik-baik saja dan selalu ceria. Memang, lain di hati lain di muka.

“Lit, boleh enggak aku tanya sesuatu?” Genta bertanya tepat saat malam keberangkatannya ke Jerman.

“Ya, Mas?”

“Kalau aku suka kamu boleh enggak?” Tawa kecil Genta mengalun usainya.

Pelita merasa hatinya berbunga sekaligus lara dalam waktu sama. Ia ikut tertawa kecil. Memperhatikan potret wajah Genta, sebagai bekal untuknya mengenang. Seorang Pelita pernah berbahagia karena dipertemukan dengan Genta.

“Jangan, Mas. Mas Genta itu tipenya kaya Mbak Rachel,” balas Pelita apa adanya.

“Dih, kami cuman teman, Lit. Lagian juga beda agama.” Genta berkilah meski hatinya menimbulkan tanya.

“Kamu nolak aku? Kamu enggak mau punya suami seganteng aku?” tanya Genta lagi.

Pelita ingin meneriakkan kata mau. Namun, ia sadar posisi. Mungkin jika ia masih memiliki harga diri, Genta bisa ia gapai. Nahas, Pelita telah berubah statusnya. Ia bukan hanya gadis papa. Pelita bahkan mulai menyematkan panggilan jalang pada dirinya sendiri kala mengingat malam mengenaskan.

Selamanya, Genta hanyalah mimpi yang indah untuk ditemui. Tepat membuka mata, Pelita akan menemukan banyak perbedaan antara mereka. Biarlah, Pelita merasa ini harus disimpan tanpa dikatakan.

“Siapa yang bisa nolak Mas Genta?” balas Pelita dengan mata yang Genta rasa mulai redup sinarnya.

“Mas Genta gak akan ditolak wanita, Mas. Sekalipun aku mau, tetapi aku bukan sandingan yang setara dengan Mas Genta.” Pelita menjawab tenang.

Genta tak suka, tetapi pembicaraan mereka di loteng terpaksa berhenti. Mendapat panggilan telepon dari saudara di Jerman, lelaki itu sedikit kesal. Akan tetapi, mau tak mau ia pamit pada gadis yang ia cinta.

Hari di mana kepergian Genta, Pelita kabur. Ia tak membawa gaji yang diberikan di awal bulan dan meninggalkan sebuah kertas catatan. Rumah megah berlantai dua itu digemparkan.

Maaf, Tuan, Nyonya, dan semua yang ada di rumah ini. Saya pamit pergi karena ada urusan keluarga mendadak. Tidak ada maksud apa-apa dari kepergian saya. Kalian tak perlu khawatir. Terima kasih atas kepedulian juga sikap baik selama ini. Saya mohon maaf jika ada salah kata yang disengaja maupun tidak.

Pelita Nuri.

Genta marah besar. Lelaki itu bahkan hendak meninggalkan penerbangan untuk mencari Pelita terlebih dahulu. Namun, sikap kekanakan itu bisa direndamkan. Tuan Abraham juga Nyonya Salma memberi nasihat dan saran.

“Mungkin Pelita ada urusan privasi, Gen! Kamu jangan gegabah mengambil keputusan. Kami tahu kalian teman baik. Untuk saat ini biarkan Pelita menyelesaikan perkara. Lain waktu, dia pasti kembali.” Nyonya Salma berkata demikian.

Meski pada akhirnya, kabar Pelita kembali tak pernah Genta dengar. Lelaki itu menyelesaikan studi dengan penuh beban. Raganya memang di Jerman, tetapi hatinya masih terpenjara dalam kenangan.

Di lain sisi, sekalipun keputusan pergi Pelita ambil, rasa sedih merasuki hati. Pelita sadar, ia terlalu jauh menambatkan rasa pada Genta. Efek ketergantungan dan kenyamanan yang lelaki itu tularkan hampir membuat Pelita lengah. Namun, melihat perutnya perlahan membesar, Pelita yakin keputusannya benar.

Menggugurkan kandungan, menitipkan sang anak di panti asuhan, dan pilihan lain menghadang kepala Pelita. Akan tetapi, saat segalanya dipikir ulang, Pelita tak ingin menggugurkan nyawa yang ada di perutnya. Janin tersebut tak memiliki kesalahan, sekalipun cara membuatnya memang hal paksaan tanpa kebenaran.

Pelita memilih membesarkan kandungan. Dua bulan bekerja di restoran dan mengalami kepayahan, ia memilih opsi mengadu pada Guntur. Demi apa pun, kondisi morning sickness, lemah, dan pusing yang menyerang tak mampu Pelita bayangkan.

Membawa harapan besar, Pelita datang kala hari telah siang. Di rumah mewah dengan pagar besi itu, ia memohon izin menemui sosok Guntur. Awalnya, sang satpam menolak, tetapi beruntung, mobil BMW hendak masuk itu berhenti di gerbang.

“Ada apa, ya?” tanya wanita paruh baya yang memiliki garis wajah sama dengan Guntur Pranaja.

Pelita meneguk ludah sebelum akhirnya memberi alasan. “Saya ingin mengunjungi Guntur sebagai seorang teman.”

Wanita modis itu memindai tubuh Pelita lalu mengangguk ringan. Masuk di rumah mewah, Pelita berharap mendapat keadilan. Ia lantas duduk di ruang tamu. Tak lama, wanita paruh baya itu kembali dengan baju berbeda.

“Kamu? Ada urusan apa dengan Guntur? Butuh pinjaman uang?”

Tanya sadis meluncur. Pelita langsung menatap lurus dengan mulut terkatup rapat.

“Saya ingin meminta pertanggung jawaban Guntur tentang ini.” Pelita menunjuk perutnya yang mulai menggembung dengan berani.

Sontak, wanita modis itu melebarkan mata. Ia berdiri dengan wajah penuh keterkejutan dan panik yang kentara.

B er sambung ....

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang