Sempurna

2.7K 202 37
                                    

Pukul tujuh pagi, seminggu selepas percakapan panjang, Genta kembali datang. Dalam rentang waktu yang menurutnya sedemikian panjang, ia tak menghubungi Pelita meski rasa berat merasuki dada. Genta menahan diri karena ia ingat pada janji guna memberi Pelita waktu memikirkan segala jawaban. Lantas, hari Jumat ini, ia beranikan diri datang ke rumah Pelita pagi-pagi sekali. Entah kebetulan atau campur tangan Tuhan, Awan tengah sarapan kala Genta datang. Tentu, anak itu antusias menyambut dokter gondrong tersebut.

“Om Gentaaaa! Sarapan dulu ayo! Mama masak nasi goreng sosis loh.” Awan berkata sebelum Pelita bersuara.

Wanita yang telah membuka pintu kontrakan tersebut seperti kehilangan suara. Ia kadung bingung dengan statemen-statemen yang akhir-akhir ini berperang dalam kepala. Dan lagi, ia belum siap untuk memikirkan ajakan Genta. Meski tak bisa diingkari, kala memikirkan lamaran Genta, Pelita merasa ada kembang-kembang yang membuatnya ingin terbang ke cakrawala.

“Pelita,” panggil Genta menyadarkan wanita di hadapannya malah melamun panjang.

“Ya ... maaf!” Pelita tergagap dan menatap Genta sekilas.

Menghela napas ia kembali berkata, “Masuk, Mas. Sarapan dulu.”

Daripada menawarkan sarapan, Pelita lebih ingin menanyakan ada hal apa Genta datang. Akan tetapi, ajakan Awan yang terlihat senang sarapan bersama, tak bisa Pelita abaikan begitu saja. Jadi, entah sejak kapan Pelita membuka pintu dan mempersilakan Genta masuk dengan senyum bimbang.

“Mas Genta belum sarapan, 'kan?” Ah, kenapa rasanya canggung.

Pelita menyesali kenapa ingatannya kuat sekali. Ia hafal kesukaan Genta adalah nasi goreng sosis juga. Kebetulan, Awan menggemari menu itu pula.

Pikiran liar lain pun berkelana, Pelita tahu Genta tak suka manis. Kopi sedang dengan takaran bubuk hitam ditambah setengah sendok gula. Sialnya, Pelita juga suka kopi. Huft. Ingatan tentang Genta memang tersebar dalam segala lini kehidupan Pelita. Lantas, mana mungkin ia bisa mengentaskan segala rasa sedangkan kepalanya selalu dibayangi wajah juga tutur kata seorang Gema Guntara.

“Aku belum sarapan, Lit. Sengaja ke sini buat nemuin kamu sama Awan.” Genta menjawab dengan tatapan tak teralihkan dari wanita berseragam Cleaning Service di dekat wajan tersebut.

“Tapi adanya cuma—”

“Boleh,” jawab Genta cepat.

Tamu tak tahu diri, bisa saja julukan tersebut melekat pada diri Genta sekarang. Namun, lelaki itu tak peduli. Matanya terlalu lapar membayangkan enaknya masakan seorang Pelita. Ditambah sajian secangkir kopi di dekat meja Awan yang mengepul, Genta merindukan cita rasa kopi buatan Pelita. Takaran memang sama, cara membuat juga, tetapi jika Pelita yang membuatnya, entah mengapa membuat Genta menyenangi bahkan tergila-gila. Membuat Genta kehilangan akal hingga melebur dalam sensasi pahit dan manis yang bersamaan. Genta tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan atas pertemuan ini.

“Kepalaku pening boleh aku minta—”

“Kopi?” Pelita yang menyiapkan nasi goreng di piring pun menyahut langsung.

Matanya menatap Genta kemudian. Kode kepala pusing adalah kode mereka berdua saat masih menjadi majikan dan pembantu. Kenangan pun berkelebat, Pelita sadar, dia masih hafal dan memahami Genta walau dalam waktu lama tidak bersua.

“Kalau boleh.” Genta berkata sekenanya dengan hati deg-degan.

“Awan udah sehat?” Selanjutnya untuk mengalihkan efek tatapan yang menimbulkan canggung juga sport jantung, Genta bertanya.

“Udah, Om. Minggu depan kontrol terakhir kata dokter, Om. Setelah itu, Awan sehat.”

Genta tersenyum dan mengelus kepala Awan pelan. Rasa sayangnya semakin timbul. Apalagi, mendengar sedikit informasi tentang Awan dari dokter yang menangani.

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang