Yang Berbeda

1.1K 157 11
                                    

Mengantarkan Pelita ke rumah sakit, mengurusi administrasi, dan terakhir terjebak berdua untuk pulang. Pelita dan Guntur saling diam. Tidak ada sapa juga tanya. Lelaki itu bersikap profesional di depan Mandor Wira. Pelita kira, usai pria paruh baya itu pergi, Guntur akan berkata menyakitkan lagi. Dugaannya salah kaprah karena Guntur setia dengan diamnya.

Menunggu di kursi dekat UGD, Pelita ditinggal Guntur menebus resep. Dokter memang memberikan resep dan lelaki itu langsung menuju apotek, lagi-lagi tanpa kata apa-apa. Pelita sempat dibuat tercengang sekaligus lega. Ia rasa juga harus waspada dan memasang range kehati-hatian tingkat tinggi saat ini.

“Kita pulang!” Kata itu disampaikan Guntur yang tiba-tiba datang.

Guntur juga langsung menyodorkan kresek putih, Pelita gegas menangkapnya. Mata mereka tak beradu karena sama-sama terjebak dalam situasi aneh, atau ajaib mungkin. Ajakan tadi pun Pelita turuti. Bangkit dari kursi tunggu, ia mengekori sang atasan yang langkahnya telah jauh untuk dikejar.

Tak sengaja, kresek berisi obat milik Pelita terjatuh. Wanita itu akhirnya memungut dan menangkap pemandangan familier. Punggung dengan seragam kedokteran yang baru saja keluar tergesa dari UGD terlihat mirip dengan seseorang. Mengingat kembali  perkataannya waktu silam, Pelita mendadak merasa berdebar dalam dada.

”Aku ingin menjadi dokter.” Kalimat tersebut masih Pelita ingat nadanya.

Binar mata si empu yang menampakkan keinginan besar, mampu Pelita rasa. Wanita itu tersenyum lalu kembali memukul kepala kala kesadarannya kembali. Merutuki diri, rasanya tak ada kegunaan untuk menyimpan masa lalu juga mengingatnya seperti ini.

Pelita bergegas menyusul Guntur. Dalam benak wanita itu tergambar berbagai prediksi. Salah satunya; Guntur akan marah-marah juga mencaci. Nyata, Guntur tak berbicara dan langsung masuk di kursi kemudi. Tak ada komplain sedari Pelita datang sampai duduk di jok belakang. Lelaki itu ... kenapa dengannya? Pelita bertanya-tanya sendiri.

“Kita langsung jemput Awan. Motor kamu biar dianter ke rumah nanti. Jahitan kamu masih basah, kata dokter jangan dibuat kerja berat dulu,” ujar Guntur usai mereka terjebak di lampu merah.

Manusia memang memiliki dua sisi. Jahat atau baik. Sekalipun manusia itu jahat, jika tengah muncul sisi baik, maka manusia itu seperti bukan dirinya sendiri.

Mendengar penuturan Guntur, rasanya Pelita harus ke dokter THT guna memastikan segala. Apa benar telinganya berfungsi dengan benar tanpa salah dengar?

“Apa Anda memiliki maksud tertentu?” Pelita melirik Guntur dengan ekspresi menyelidiki.

Satu alis wanita itu terangkat satu. Sebuah pertanda, kepercayaannya berada dalam gamang. Guntur tak melirik belakang dan hanya diam. Otaknya tengah berputar beserta ceramah-ceramah kebaikan yang terngiang. Maka, meladeni Pelita bukan lagi prioritasnya. Ia memilih melajukan mobil hingga melewati gedung tempat bekerja.

Di jok belakang, Pelita berzikir juga berdoa. Jika Guntur berniat jahat padanya, ia serahkan pada Tuhan. Rencana cadangan telah tersusun bila kemungkinan Guntur melewati sekolah Awan dan tak berhenti seperti janji tadi. Seperti, Pelita akan melompat keluar mobil karena pintu tak dikunci.

Suuzon Pelita tak terbukti. Janji Guntur ditepati. Memberhentikan mobil di depan sekolah, Awan juga Lintang pun berlari menghampiri. Dua manusia tersebut masuk dan duduk di samping Pelita.

“Lit, kamu udah baikan, 'kan? Tanganmu gapapa, 'kan? Tadi kenapa bisa begitu? Mas, kok bisa ada kecelakaan kerja macam ini?” Lintang mencecar banyak pertanyaan.

Dari kalimat yang Lintang ucapkan sepanjang kereta tadi, semua bisa terasa. Wanita itu menyayangi Pelita bukan sebatas teman saja, tetapi lebih mirip saudara. Tersenyum tipis, getar-getar halus merambat di dada Pelita. Ia merasa diperhatikan dan menemukan sosok mirip keluarga lewat Lintang. Sosok Lintang pernah Pelita miliki, sebelum akhirnya menghilang, memang.

“Gapapa, Miss. Pak Guntur juga sudah berdiskusi dengan mandor. Ini murni kecelakaan kerja. Pun segala kesalahan tidak bisa dilimpahkan pada si kuli. Saya ikut andil karena kurang berhati-hati,” jawab Pelita ramah dan Guntur sempat melirik dari kaca spion.

Lelaki itu menjalankan mobil tanpa menjawab pertanyaan sang istri. Jika dalam film kartun, kepalanya sudah digambarkan beserta asap mengepul. Pasalnya, ceramah juga nasihat Lintang memiliki imbas tersendiri. Mulanya, Guntur menerima. Akhirnya, ia ikut merenungkan segala.

“Mama, ini masih sakit?” Awan bertanya sembari menatap sang mama lama.

Pelita menggeleng sebagai sebuah penenangan. Melihat interaksi si anak didik juga mamanya, Lintang tersenyum lebar.

“Maaf jika lancang, Lit. Awan kukasih tahu apa yang menimpa kamu. Aku tahu dari Mas Guntur. Kebetulan juga, jadwal pulang kelas tiga agak siang karena ada les tambahan Bahasa Inggris. Kamu tahu, Lit? Bagaimana respons si tampan ini?” tanya Lintang dengan senyum tak pudar.

“Dia menangis keras banget. Padahal, sejauh aku mengajar di sini, Awan nggak pernah nangis. Meski pernah dinakali pun dipukul temannya terakhir kali, Awan tetap tegar-tegar saja. Tapi tadi ... dia khawatir sampai mewek keras. Sesayang itu dia sama kamu.” Lintang merasa hubungan anak juga ibu tersebut terjalin erat.

Melihat gurat kesedihan Awan juga pertanyaan tentang sang mama, Lintang yakin Pelita sangat bermakna di mata anak didiknya itu. Meski besar tanpa sosok papa, Lintang tahu, Awan tumbuh dengan baik. Untuk masalah status Pelita, Lintang tak pernah mengulik. Ia hanya tahu si wanita dengan pembawaan dewasa itu memiliki luka hingga tak pernah bercerita, sekalipun Lintang menawarkan tempat sebagai pendengar setia.

“Rasa sayang terjalin karena hubungan darah juga rasa terbiasa, Miss.” Pelita berkata.

“Awan terbiasa sama saya. Dari kecil sampai sekarang ... cuman saya satu-satunya tempat dia pulang,” ujar Pelita lagi.

Melirik kaca, mata wanita itu tak sengaja menatap Guntur. Kemudian, keduanya sama-sama memutuskan pandang.

“Mama gapapa, 'kan? Mama capek kerja ya? Awan enggak jajan lagi kalau gitu.” Awan menyela.

Guntur mendengar kalimat tadi ikut meresapi segala. Melirik dari spion kesekian kali, tiga manusia telah menampakkan kaca-kaca kesedihan. Sialnya, Guntur mulai terbawa suasana. Ada rasa tak tega mengenai rencana untuk merebut Awan dari Pelita. Kenapa rasa iba datang begitu saja?

“Enggak, Sayang. Mama kurang hati-hati tadi. Awan jangan nangis lagi, oke?!” Pelita menjawab sekenanya.

Hal-hal yang berkaitan dengan Awan selalu membuat matanya memanas. Pelita menatap jendela guna menyembunyikan tangisan. Tidak elit mengeluarkan kesedihan di muka umum, ia membiarkan angin mengeringkan kaca-kaca yang tadinya siap melelehi pipi.

“Cepat sembuh, ya, Lit. Aku hampir ikut nangis pas Awan nangis tadi. Mau aku rahasiain tapi kenyataannya kita akan nunggu lama. Sekali lagi, maaf kalau lancang,” ujar Lintang.

Pelita mengalihkan pandang. Ia mengangguk dan tersenyum tipis. Melihat mata memerah Lintang, ia tahu wanita tersebut ikut merasa haru.

“Gapapa, Miss. Terima kasih sudah peduli sama kami,” balas Pelita dengan hati menghangat.

Percakapan itu akhirnya menemukan ujung juga. Mobil Guntur telah sampai di depan gang kontrakan Pelita. Lintang mengerutkan kening merasa heran secara tiba-tiba.

“Mas Guntur tahu tempat tinggalnya Pelita?” tanya Lintang.

Guntur menegang di tempat. Mencari alasan apa ia, agar Lintang tak curiga? Kalau diingat-ingat, ia dan Lintang belum pernah berkunjung ke sini sama sekali, meski sang istri dekat dengan Pelita. Guntur diam, suasana dialiri hening juga ketegangan.

“Pak Guntur mungkin tahu karena tak sengaja membaca surat kontrak antara agensi, kantor, dan para CS tadi pagi.”

Pelita sebenarnya tak ingin mengurusi masalah rumah tangga orang lain. Akan tetapi, ia hanya ingin membersihkan pikiran Lintang yang mungkin merasa heran. Sebagai wanita, ia tak memiliki niat untuk memisahkan Guntur dari Lintang. Dengan merahasiakan status Awan, Pelita ingin menyelamatkan segala kemungkinan. Contohnya; perceraian Guntur atau perampasan Awan. Ia telah memikirkan segala dengan matang.

“Ohhh begitu.” Lintang berkata dan Guntur mengangguk kaku.

Pelita pun turun usai mengucapkan terima kasih. Meninggalkan mobil itu, ia harap Guntur pergi dari hidupnya. Tak diganggu sama sekali akhir-akhir ini, Pelita seperti bisa bernapas lega.

B e r s a m b u n g ....

Pelik (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang