Dibesarkan di panti asuhan, pernah diasuh orang tua angkat tetapi ditelantarkan, dan terakhir, berjuang sendiri untuk masa depan. Pelita mengalami segala permasalahan itu tanpa bantuan. Tubuh ringkihnya telah berubah menjadi besi selepas ditempa luka juga penghianatan berkali-kali.
Tentang pahitnya hidup, Pelita tak pernah bercerita kepada siapa pun. Termasuk Lintang, Pelita tidak mau mengabsen segala lukanya. Diam adalah obat mujarab menyembuhkan duka, begitu prinsipnya. Karena Pelita juga yakin, tak ada yang bisa diharapkan selain diri sendiri untuk bertahan juga berperang dalam kehidupan.
Besar tanpa sosok ayah dan membesarkan Awan tanpa sosok suami adalah prestasi terbesar bagi Pelita sendiri. Anggaplah sebuah self reward terbaik adalah kala tahu Awan termasuk anak berprestasi. Tentu, itu berkat kerja keras juga ratus tetes keringan Pelita tanpa bantuan lelaki. Dia wanita, tetapi bisa mandiri seperti ini? Patutlah Pelita menepuk dadanya sendiri.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Pelita mengantar Awan ke sekolah. Bedanya, pukul enam mereka telah sampai tujuan. Sekolah dasar memang masih sepi, tetapi Pelita memang sudah merancangnya. Alasan utama, ia ingin menghindari Lintang hingga berharap dengan sikap demikian, Guntur tak lagi mempertanyakan segala kejelasan mengenai Awan.
“Awan berangkat dulu ya, Ma.” Awan tersenyum sembari menatap Pelita penuh kasih sayang. Tak lupa, tangannya terulur mencium punggung Pelita khidmat.
“Hati-hati dan belajar dengan pintar ya, Sayang.” Pelita berkata dengan senyum tak kalah lebar.
Bocah itu pun masuk ke kelas. Saat bayang Awan telah lenyap, Pelita memacu motor kesayangan dengan kecepatan penuh. Dalam ramainya lalu lintas, wanita itu memikirkan strategi untuk menghindari Guntur nanti. Jika memilih resign dan pindah kota, Pelita harus berpikir ulang karena di umur sekarang, pekerjaan susah didapatkan. Meski wajahnya tergolong masih muda, Pelita tidak bisa menampik badannya sudah menginjak kata tua. Pegal kerap menyapa kala ia memilih untuk lembur. Hal itu pula yang membuatnya seakan mendapat jalan buntu untuk kabur dari Guntur.
Pelita masih percaya bahwa Guntur adalah pribadi yang keras kepala. Maka, kepala wanita itu masih memikirkan jalan keluar yang aman. Awan baginya adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.
Tiba di salah satu gedung daerah Buaran, Pelita langsung menuju ke loading dok untuk memarkirkan motor. Membetulkan penampilan sejenak, ia lalu menuju ke lantai satu dan mengisi absensi CS hari ini. Pembagian tugas telah ditulis Bu Tina tadi malam. Lagi-lagi, Pelita diperlakukan tidak adil karena harus membersihkan lantai enam. Tempat di mana banyak properti juga bangku baru yang jarang ditempati.
“Sabar, Lit! Semangat!” Memegang mooping erat, Pelita berangkat.
Semangat wanita itu membara kala mengingat sang putra. Laksana Awan adalah alasannya untuk bertahan hidup juga bekerja. Jadi, Pelita tidak ragu untuk bertingkah gesit juga agresif dengan mulut merapalkan nama anaknya.
Di tempat berbeda, Guntur masih setia duduk dalam mobil. Matanya enggan enyah dari pemandangan bocah lelaki yang menyapu halaman dengan teliti. Laksana Awan nama lengkapnya seperti kata Lintang tempo hari.
Sembari memperhatikan foto masa kecil, Guntur menemui berbagai kemiripan. Bibirnya tersenyum tipis kala menatap wajah oval di hadapan. Bagaimana mungkin Pelita mengelak jika kenyataan berbanding terbalik? Guntur menggeleng, merutuki kebodohan wanita itu dan menyayangkan takdir. Kenapa Awan tidak mewarisi kulitnya saja? Kenapa harus kulit sawo matang milik Pelita yang dibawa? Jika saja bocah itu memiliki kulit kuning langsat, bisa dipastikan Awan akan menjadi duplikat Guntur junior di dunia nyata.
Takdir berjalan atas ketentuan Tuhan. Untuk siang ini, Guntur memiliki celah guna mengajak Awan dan Lintang ke mall guna jalan-jalan usai pulang sekolah. Kebetulan pula, Pelita kembali didamprat atasan untuk lembur kesekian kali. Hingga, ia terjebak dan tak bisa menjemput Awan lebih awal seperti dalam prediksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik (21+)
Chick-LitMemiliki anak tanpa suami adalah aib yang menimpa Pelita Nuri. Tak terhitung cibiran, hinaan, serta makian diterima sepanjang hidupnya. Namun, itu tak seberapa dibanding luka yang disimpan dalam diamnya. Bertemu dengan Guntur Pranaja adalah kesalaha...