Jujurly aku juga nggak tau kenapa bisa memutuskan untuk bikin cerita tentang...Maura. Aku nggak suka BANGET sama tokohnya, kisah hidup diapun terlalu rumit. Tapi hei...ini tahun 2023, tahun baru, saatnya belajar hal baru di luar zona nyaman (Makasih kepada Kak Bona yang kasih ide dan nanyain mulu mana Maura wkwkwk).
Satu hal yang aku percaya, isi pikiran manusia berbeda-beda, selalu ada persepsi yang berbeda, seperti orang yang melihat angka 6 dan 9 di arah yang berlawanan. Apa ada pendapat yang salah? Nggak ada. Semua benarrr. Jadi, aku pengen ngajak temen-temen onlineku untuk bareng-bareng menelaah melihat segala sesuatunya dari sisi Maura, dari dunia kelam dia.
Untuk readers baru, nggak apa kok langsung baca cerita ini. Tapi dianjurkan baca Memetik Bulan dulu ya, supaya lebih berasa kesel dan dendamnya sama Maura wkwkwkwk.
Aku nggak ekspektasi akan banyak yang baca sih, soalnya ni cerita mungkin bikin darah tinggi ye kan wkwkwkwk. Tapi tenang, aku usahakan kasih warna warni cerahh yaa.
Jangan terlalu benci sama Maura ya, nanti pas ceritanya tamat malah jadi cinta loh 😆😆.
===
Suara tabuh pentungan masjid terdengar lima kali ketukan. Pertanda panggilan kepada seluruh warga dusun Pancabentang untuk berkumpul di serambi masjid. Seluruh warga menghentikan aktivitas, jalan berbondong mengerubungi masjid. Meski bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat mereka harus berkumpul di siang bolong.
Langkah kaki para penduduk kompak terhenti di tanah lapang depan masjid. Mengelilingi sang kepala dusun, si penabuh pentungan masjid yang sebentar lagi akan memberi pengumuman. Mata mereka mengernyit sejenak karena mencium bau asing yang agak memabukkan. Harum tapi membuat kepala pusing.
Mereka yang berdiri di baris terdepan terkesiap. Karena melihat sosok perempuan asing yang berdiri di sebelah kepala dusun. Dusun mereka jarang kedatangan tamu dari luar. Selain karena letak dusun yang sangat terpencil, seluruh sanak saudara pun tinggal di dusun yang sama.
Para warga kompak mengernyitkan dahi, menilai penampilan aneh perempuan asing itu. Siang terik begini kok pakai jaket putih. Rambutnya panjang dan tergerai membuat beberapa warga teringat dengan legenda kuntilanak. Perempuan itu juga memakai topi dan kacamata hitam. Persis seperti orang buta yang mau menggarap sawah.
Kepala dusun sedikit berbisik, memberi isyarat agar si wanita itu melepas kacamata dan topinya. Sebagian penduduk yang sudah sepuh terkesiap kala melihat rupa si perempuan asing.
Melihat raut terkejut warga, perempuan itu merasakan tangannya berkeringat karena sedikit gugup. Campuran antara perasaan narsis dan kekhawatiran akan asumsi ada warga yang mengenali sosoknya. Perempuan itu menunduk, bersiap menerima lemparan telur, cakaran kencang, atau minimal cemoohan lagi.
"Penjajah!" teriak warga.
Kembali mengangkat kepala, mata perempuan itu membola, terkejut dan nggak mengerti dengan arti teriakan salah satu warga.
Sedangkan sebagian warga saling menoleh kebingungan, nggak paham juga mengapa semua sesepuh teriak panik. Salah satu sesepuh di belakang berbisik kencang "Urang Walanda nu ngajajah Endonesa (orang Belanda yang menjajah Indonesia)!"
Wajah seluruh penduduk jadi pucat pasi. Aura tegang kian menguar. Di dalam otak mereka tiba-tiba berputar segala macam ketakutan seperti dusun mereka akan dijajah kembali oleh bangsa Belanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Tak Terlihat Lagi
ChickLitHanya ingin melarikan diri, sampai tak terlihat lagi.