15. Kehilangan Ayam

1.8K 301 100
                                    

Maura bangun pagi dengan perasaan yang lebih tenang. Mungkin karena mulai bisa berpikir jernih dan mencerna ucapan Bima semalam.

Iya, dia tetap aman di Pancabentang. Karena ketidaktahuan orang-orang adalah zona amannya.

Matahari baru terbit tapi Maura sudah keluar kamar. Dia lebih semangat menjalani aktivitas hari ini.

Seolah semesta mendukung niat Maura, sedari pagi Ki Wawan mengajak Maura dan Sekar memberi pakan ayam. Ini momen pertama Maura berinteraksi dengan ayam peliharaan Ki Wawan.

Rumah-rumah di Pancabentang merupakan rumah panggung. Maura baru tahu pagi ini, Ki Wawan memiliki banyak ayam yang tinggal di kolong rumah. Perlu berjongkok sambil mengintip ke bawah untuk melihat dengan jelas.

Abu bekas kayu bakar selalu ditabur di bawah rumah, sehingga kotoran ayam nggak menimbulkan bau. Sisa makanan atau sampah organik pun diberi untuk pakan ayam. Entah mengapa rasanya menyenangkan melihat seluruh ayam memakan pakan dengan lahap.

Maura baru saja menarik ayam-ayam itu keluar dari kolong rumah, mengajak mereka mengobrol satu persatu, lalu berjanji akan bertemu mereka kembali di esok hari. Tapi setelah itu Ki Wawan menangkap salah satu dari mereka. Beliau hendak menyembelihnya untuk makan siang hari ini.

Parahnya...Maura menyaksikan kejadian itu. Momen di mana Ki Wawan mengiris leher si ayam. Darah ayam memencar deras jatuh ke atas tanah. Lalu sang ayam kejang-kejang di ujung nyawanya, seiring dengan suara mencicitnya yang lirih semakin lenyap.

Nyeri sekali hati Maura.

Saat ini Ambu dan Sekar sedang sibuk mencabuti bulu ayam yang baru disembelih. Maura jelas menolak membantu. Dia nggak kuat menahan rasa sedih.

Sekarang dia sedang menyendiri di dapur. Menggantikan Ambu untuk memasak nasi. Meski kebanyakan waktunya dipakai untuk melamun, memikirkan ayam yang kini sudah mati.

Suara ketukan pintu dapur membuat Maura terlonjak kaget. Sosok Bima tiba-tiba muncul di samping pintu.

"Maura," panggil Bima.

Maura mendesah. Panggilan Bima terasa seperti perintah.

"Masak-masak buat hajatannya nanti sore kan?" Kehadiran Bima mengganggu proses berdukanya.

"Aku mau ngobrol sama Ki Wawan tentang wacana program baca tulis. Nanti kamu ikut ya?"

Maura mendelik, "Kenapa gue harus ikut?"

"Kan kamu yang akan jadi pengajarnya," ucap Bima datar.

Jawaban Bima langsung menyulut emosi Maura. Apalagi Maura sedang nggak suka dengan Ki Wawan.

"Ngapain ngomong ke Ki Wawan segala sih? Emang nggak bisa langsung ngajar aja? Toh Ki Wawan nggak akan tau juga!" teriak Maura kesal.

"Nggak mungkin Ki Wawan nggak akan tau. Kita sebagai orang luar harus meminta izin ke ketua adat atas setiap kegiatan yang akan kita lakukan. Dikhawatirkan ada kegiatan yang bertentangan dengan adat," jawab Bima tanpa terpengaruh kekesalan Maura.

"Ngapain sih ngelarang-larang orang belajar? Kan nggak dosa!"

"Mereka pasti punya pertimbangannya sendiri, Ra."

Maura bungkam. Dia terlalu malas menanggapi. Energinya sudah terkuras habis pagi ini.

"Ambu sama Sekar di mana?" tanya Bima tiba-tiba. Lelaki itu baru sadar ketidakhadiran Ambu dan Sekar di dapur sepagi ini.

"Bersihin ayam yang baru disembelih. Lama-lama gue jadi vegetarian di sini, Bim," ungkap Maura lirih.

Mendengar nada suara Maura, Bima mengerutkan alis. "Kenapa, Ra?"

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang