9. Seperti warga desa

1.7K 326 107
                                    

Udah bulan ke-sembilan dan baru sampe chapter sembilan wkwkwkwkwk.

Bima menepati janjinya keesokan hari. Dia datang ke rumah Ki Wawan untuk menjemput Maura. Kehadiran Bima memaksa Maura untuk keluar kamar dan membantu Ambu memasak.

"Wios, Teh, wios. Nggak usah. Teh Rara istirahat aja di kamar," ucap Ambu ketika Maura bergabung di dapur.

"Nggak apa, Bu. Saya udah mendingan," Maura memaksakan senyumnya. Kalau bukan gara-gara kehadiran Bima, Maura juga ogah masuk ke ruangan penuh asap kayu bakar ini.

"Teh Rara udah sembuh?" tanya Ambu dengan logat Sunda yang kental.

"Sudah kok, Bu."

Ambu menatap wajah cantik Maura yang terlihat lebih segar. Menghargai niat baik Maura, Ambu menyerahkan pisau dan seikat daun bawang.

"Ini tolong potong daun bawang aja, Teh. Ambu mau angkat nasi, sebentar lagi matang."

Kuliah bertahun-tahun di luar negeri membuat Maura nggak canggung menggunakan peralatan dapur. Sebetulnya dia bisa memasak. Karena prinsip hidup Maura adalah nggak ada hal yang nggak bisa dia kerjakan.

"Pagi ini Ambu mau masak telur dadar sama kangkung, Teh. Telurnya tadi baru diambil Aki dari kandang. Sekar masih petik kangkung di luar, biar masih segar. Teteh suka lada nggak?"

"Lada merica Bu?"

"Pedas maksudnya. Kalau Teh Rara suka pedas, tolong sekalian potongin cengek. Cengek itu cabe, Teh."

"Iya, Bu." Maura memotong serong cabai dengan cekatan. Suara Bima membekukan tangannya sejenak. Pandangannya berbelok ke arah luar pintu.

"Hampura Abdi ngaripuhkeun nya (maaf saya ngerepotin ya), Ki. Saya teh masih khawatir sama Rara." Maura melihat Bima menyalami Ki Wawan. Gestur Bima menunjukkan sikap penuh rasa hormat.

Setelah berinteraksi nyaris seharian dengan Bima, Maura kian merasa sosok lelaki itu misterius. Terlihat dingin, tapi bisa seketika hangat di hadapan warga Pancabentang, apalagi keluarga Ki Wawan.

"Kang Bima emang bageur pisan, baik banget, Teh," sahut Ambu sembari mengaduk nasi yang baru matang dan mengipasinya dengan hihid (kipas bambu).

"Ti subuh teh parantos sasapu di halaman depan sama belakang. Bantu Aki cabut rumput belakang. Saurna mah sambil nunggu Teh Rara," ucap Ambu dengan campuran Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia, yang Maura coba raba artinya.

Obrolan ibu-ibu nggak jauh dari membicarakan orang lain, begitu juga Ambu. Kini Bima menjadi topik utama percakapan mereka. Sekar yang baru ikut bergabung menambah review positif mengenai Bima.

Maura diam mendengarkan sembari membagi batang kangkung menjadi dua bagian.

"Kang Bima teh ringan tangan, suka bantu-bantu semua orang di sini."

Iya ringan tangan, kemarin aja bikin tangan gue merah-merah, omel Maura dalam hati.

"Gara-gara pupuk yang Kang Bima buat, hasil panen kami teh bagus sareng bebas hama, Teh."

Maura memperhatikan ekspresi sumringah Sekar dan raut bangga Ambu ketika menceritakan Bima, seolah Bima adalah pahlawan di Dusun ini. Dari Bima si bisa memperbaiki segala yang rusak, Bima si ahli pertanian, Bima si baik hati yang siap menolong siapapun.

Sampai Maura menarik sebuah kesimpulan. "Bima tuh calon suaminya Sekar ya, Bu?"

Ambu dan Sekar kompak tertawa.

"Bukan, Teh. Calonnya Sekar masih merantau."

Obrolan mereka terhenti karena masakan sudah jadi. Maura dan Sekar bergantian membawa piring-piring dan gelas-gelas ke ruang tengah. Senyuman tulus dan suara halus Ambu tanpa sadar membuat Maura membantu tanpa mengeluh.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang