7. Tempat Baru

1.7K 306 89
                                    

BAB ini setting waktunya setelah prolog cerita ya guys. Aku nggak akan ceritain ulang gimana Maura pas baru sampe Desa.

===

Dusun Pancabentang

Hanya butuh beberapa menit berbincang dengan Maura untuk mengetahui betapa cerdasnya dia. Untuk ukuran orang awam yang nggak mengetahui seluk beluk ilmu Antropologi, Maura sangat bisa diandalkan untuk menggantikan mahasiswi Aldo. Maura dengan mudah memahami data apa saja yang Aldo butuhkan.

Tapi yang membuat Aldo khawatir adalah kondisi mental Maura. Apakah dia sanggup melewati hari demi hari di desa terpencil ini.

Selama prosesi perkenalan dengan seluruh warga di Desa Pancabentang, Aldo nggak menangkap raut senang di wajah Maura. Wanita itu terlihat risih dan tertekan, tapi masih berusaha menampilkan senyumnya yang palsu.

Selepas solat Ashar berjamaah, seluruh warga langsung bubar. Hanya menyisakan Aldo, Maura, dan Bima.

Aldo harus bergegas untuk pulang. Dia nggak bisa berdiam di sini lebih lama. Karena Aldo masih harus berjalan kaki berjam-jam melewati perkebunan, pematang sawah, dan hutan belantara sebelum matahari terbenam.

"Saya harus pergi. Kamu...nggak apa kan saya tinggal?" Aldo menatap Maura penuh keraguan. Dia seperti Bapak yang akan meninggalkan anaknya di pesantren selama berbulan-bulan.

"Masih meragukan saya?" Maura menaikkan sebelah alisnya.

Aldo menghela napas. Pandangannya beralih pada Bima yang berdiri di belakang Maura. "Bima, saya titip Maura ya?"

"Saya bukan barang titipan," sinis Maura.

Tanpa menggubris Maura, Aldo melanjutkan pesannya pada Bima. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa langsung hubungi saya ya, Bim."

Bima membalas dengan anggukan kepala. Sejujurnya dia malas berurusan dengan perempuan di sebelahnya. Tapi karena rasa hormatnya pada Aldo, dia terpaksa menyanggupi.

Bima dan Maura belum juga saling menyapa. Dengan mulut terkunci, mereka berjalan beriringan mengantar kepergian Aldo. Lelaki itu berpisah dengan keduanya di depan gapura.

Ketika raga Aldo sudah menjauh, Bima langsung membalikkan badan, meninggalkan Maura tanpa mengeluarkan kata. Membiarkan Maura berinisiatif menyusul langkahnya yang cepat.

"Jadi, di mana kamar gue?" tanya Maura langsung. Dia berjalan cepat untuk menyamai langkahnya dengan Bima. Maura ingin segera merebahkan tubuhnya, setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan.

Bukannya menjawab, Bima malah mempercepat langkah kakinya. Seketika emosi Maura yang setipis tisu dibelah tujuh langsung terpancing.

"Heh, lo tuli ya? Atau bisu?" teriak Maura.

Bima tiba-tiba berhenti, nyaris saja hidung Maura menabrak punggung lebar lelaki itu.

Menoleh ke arah Maura, Bima berkata dengan raut datar. "Aku dan kamu, biasakan pakai kata itu. Di sini nggak ada yang mengenal kata "gue" atau "elo"."

"Siapa lo ngatur-ngatur?" Maura mendelik.

Bima hanya menjawab dengan gelengan kepala. Dia mulai mengira-ngira, berapa jam lagi Maura akan bertahan di sini. Dia terlalu yakin, Gadis Kota seperti Maura nggak akan bisa tinggal di Desa ini.

Bima mengarahkan langkahnya menuju rumah Pak Wawan. Lalu berhenti ketika menemukan Sekar yang berdiri di depan rumahnya, sedang membelakangi mereka. Senyum di bibir Bima langsung terukir. Cih! Buaya kampung! Maura nggak tahan untuk mengumpat di dalam hati.

"Ini Sekar, Cucu Pak Wawan, Kepala Dusun Pancabentang. Sesuai kesepakatan tadi, kamu tidur sekamar dengan Sekar."

Sekar yang mendengar derap langkah, langsung membalikkan badan menghadap Bima dan Maura.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang