17. Hajatan

2.4K 325 157
                                    

Pagi-pagi Maura sudah menahan kuap karena harus membantu membuat dodol. Acara persiapan hajatan masih berlangsung. Maura kira dia akan bebas tugas dari tuntutan membantu warga. Tapi seperti biasa, Bima selalu mengacaukannya.

Sekar mengajaknya dengan mengatasnamakan Bima. Sedangkan lelaki tersebut belum nampak batang hidungnya. Maura merasa dibohongi.

"Kang Bima datang telat, Teh. Masih bantu Ki Hadi di kandang."

"Siapa yang nanyain dia?"

"Siapa tau Teteh nyariin," Sekar menyengir polos.

"Sayang banget ya Kang Bima teh bukan warga Pancabentang. Abi teh hoyong pisan jodohin Kang Bima sama Siti," ucap Ibunya Siti. Lalu disambut Ibu-Ibu lain yang mengatakan hal serupa, ingin menjadikan Bima sebagai mantu.

Sekar hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tapi kenapa Maura nggak bisa menanggapi candaan itu dengan santai? Kesal sekali dia mendengarnya. Dasar emak-emak kegenitan!

"Assalamualaikum Ibu-Ibu. Maaf saya telat," Bima menangkupkan kedua tangannya sembari sedikit membungkuk. Wajahnya segar dengan rambutnya yang masih basah, pertanda baru selesai mandi. Nggak ada semerbak wangi sabun ataupun parfum, tapi hanya aroma tubuh Bima yang khas.

"Waalaikumsalam. Sini atuh mangga ka lebet, Kang Bima," ajak salah satu Ibu untuk masuk ke dalam dapur.

"Aya nu bisa abdi bantosan, Bu? Abdi bantos aduk adonan dodol ya?"

"Mangga atuh Akang. Tapi bahan-bahanna teu acan siap. Ieu disiapkeun keneh nya. (Bahan-bahannya belum siap. Ini masih disiapin dulu ya)."

Tangan Bima meraih tongkat panjang pengaduk dodol, tapi matanya ke sana kemari menyisir seisi dapur untuk mencari seseorang. Pandangannya berhenti pada Maura. Bima langsung menyematkan cengiran lebar.

Maura melengos, menolak mengakui Bima yang terlihat tampan pagi ini. Dia melanjutkan kegiatannya mengiris gula merah.

Sekar menyenggol tubuh Maura, lalu berbisik "Kayaknya Kang Bima suka sama Teteh."

Halah, khayalan macam apa lagi ini.

Menghentikan pengirisan gula, Maura mendelik sambil berbisik, "Kamu kayaknya masih ngantuk ya, Sekar? Masih melantur omongan kamu."

Sekar senyam senyum nggak jelas. Tanpa sepengatahuan Maura, dia jadi membayangkan Bima dan Teh Rara yang menjalin hubungan.

Beberapa menit kemudian seluruh bahan telah disiapkan. Berkilo-kilo irisan gula merah, adonan tepung beras dan tepung ketan, juga parutan kelapa. Di depan pintu dapur sudah disiapkan tungku dadakan dari tiga batang kayu besar, di atasnya terdapat wajan seperti piring yang sangat lebar dari tanah liat.

Bima mengaduk gula merah yang mulai mencair dan membentuk uap didih. Maura memperhatikannya dari dalam dapur.

Bagaimana otot lengan Bima yang kekar dan menonjol karena mengaduk adonan yang bertambah. Para tetua memasukkan campuran tepung beras dan ketan.

"Teh Rara mau coba ngaduk?" celetuk salah satu Ibu.

Lalu Bima segera menanggapi, "Punten, Bu. Tangan Rara masih sakit."

"Siapa tau penasaran ya, Teh? Tapi emang berat teuing."

Sepertinya Maura bisa membayangkan seberat apa. Sudah lama sekali Bima mengaduk adonan lengket tersebut. Urat tangannya semakin menonjol, tetesan keringat mulai mengembun di dahi Bima.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang