12. Kepulangan yang Dinanti

1.8K 340 180
                                    

"Sekar, rombongan Bapak-Bapak dari pasar udah pulang. Tolong ambil pesanan kita di rumah Mak Enah. Ambu mau ngala daun singkong dulu."

"Muhun, Bu."

Maura yang baru membuka mata langsung terjaga mendengar perkataan Ambu. Dia terbangun dan menegakkan tubuh dengan cepat.

Sekar muncul di ambang pintu. "Teh, Sekar mau ke rumah Mak Enah dulu ya. Boleh minta tolong terusin goreng tempe?"

"Boleh," sahut Maura cepat. Padahal dia hanya akan menggoreng tempe, tapi berniat mengganti piyamanya dengan bajunya yang lebih rapi.

Maura menggoreng sembari menoleh berkali-kali ke arah pintu dapur. Seperti menunggu seseorang datang.

Menunggu Sekar maksudnya.

Beberapa menit kemudian muncul sosok Sekar dari kejauhan, tepat setelah Maura memasukkan ayam untuk digoreng di dalam minyak panas.

Perempuan itu mendekati pintu dapur, menanti Sekar yang mendekat.

Sekar sendirian. Mata Maura menyipit memastikan bahwa nggak ada manusia selain Sekar.

Begitu tiba, Sekar langsung menyahut, "Kang Bima nggak ikut pulang sama rombongan, Teh. Tapi si Akang nitipin belanjaan kita ke anaknya Mak Enah." Sekar mengangkat kantung belanjaan berisi minyak dan bahan sembako lainnya.

"Aku nggak nanyain Bima." Maura mengerutkan alisnya.

"Oalah. Sekar kira Teteh nyariin Kang Bima."

Maura bergidik. "Dih, ngapaiin."

Sekar tertawa melihat ekspresi Maura yang lucu.

"Kata Kang Ujang, anaknya Mak Enah, Kang Bima ada urusan sebentar. Mungkin pulangnya besok," Sekar menyampaikan informasi.

"Sok sibuk banget. Urusan apa sampe seharian." Membalikkan tubuh, Maura berjalan menuju tungku, meneruskan kegiatan memasaknya.

Maura memotong sayur dan bawang dengan kekuatan penuh. Menimbulkan bunyi yang lebih kencang.

"Teh, ini apa ya? Ada tulisannya. Teteh bisa bacanya nggak?" tanya Sekar setelah menemukan satu buah bungkusan plastik di luar pesanannya pada Bima.

Sebungkus roti isi cokelat berada di genggaman Sekar. Tertempel sticky note di atasnya, barang langka yang nggak akan ditemui di Pancabentang.

Untuk Maura.
Meski bukan croissant dari bakery ternama, tapi semoga mengobati rasa rindu.

Maura menggigit bibirnya. Menengadahkan wajah, menolak air mata mengambang di pelupuknya.

Ada sesuatu yang tiba-tiba meluap. Sesuatu yang beberapa hari ini coba Maura tekan. Yaitu rasa rindu akan kehidupan normalnya di Jakarta.

Meski dunia sedang nggak berpihak padanya, Maura tetap selalu rindu kehidupan hingar bingar di Jakarta. Dia rindu sarapan dengan roti berselai cokelat kesukaannya, yang selalu mengingatkannya pada Papi.

"Teteh kenapa?"

Maura memejamkan mata beberapa detik, menghela napas dalam. Lalu menampilkan ekspresi baik-baik saja. Menyematkan senyum palsu.

"Nggakpapa. Ini roti dari Bima untuk aku. Kamu mau coba?"

"Oh, ini yang namanya roti, Teh?"

Maura mengangguk.

"Teman-teman Sekar suka cerita, Bapak mereka selalu belikan roti setiap pulang dari pasar. Katanya enak."

"Kamu nggak pernah beli?"

"Ki Wawan nggak pernah jualan ke pasar, Teh. Sekar nggak enak nitip macam-macam ke orang lain."

Mengeluarkan dari bungkus plastik, Maura membagi dua roti tersebut. Membiarkan Sekar mencobanya.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang