Nggak kerasa udah ngetik banyak. Mulai memasuki drama-drama kehidupan ya.
"Ambu, ini pepes tahu? Kok kecil?" tanya Maura saat melihat sepiring bungkusan daun pisang.
"Lain (bukan), Teh. Eta mah nagasari ti indungna Euis (itu mah nagasari dari ibunya Euis). Amis, Teh. Aya pisang di lebetna (Manis, Teh. Ada pisang di dalamnya).
"Boleh dimakan Ambu?"
Ambu menyematkan senyuman geli sambil menyerahkan piring berisi tumpukan nagasari pada Maura. "Semuanya punya Teh Rara. Indungna Euis masihan kanggo Teh Rara. Mangga dicobian, Teh. Teu acan aya nu nyandak da. (Ibunya Euis ngasih untuk Teh Rara. Silahkan dicobain, Teh. Belum ada yang ngambil kok).
Maura mengambil sebungkus karena penasaran. Dia belum pernah mencoba nagasari. "Enak, Ambu. Ambu sama Sekar nggak makan?"
"Pan Mak Edah teh masihan kanggo Teh Rara (Kan Mak Edah ngasih untuk Teh Rara). Teteh aja belum nyobain."
"Ini aku udah makan. Ambu sama Sekar ambil aja ya. Nanti nitip bilang ke Mak Edah ya Ambu, hatur nuhun nagasarinya enak."
Pada minggu-minggu pertama Maura mengajar, banyak warga yang memberi sesuatu pada Maura. Mulai dari makanan siap santap, hasil panen, hasil ternak berupa telur dan ayam hidup, hingga kain tenun buatan sendiri. Awalnya Maura kaget dengan pemberian warga. Lalu Bima berkata bahwa semua ini bentuk rasa terima kasih warga karena anak mereka sudah diajari secara cuma-cuma oleh Maura. Bahkan banyak anak kecil yang sering memberinya rangkaian bunga yang cantik.
Kemudian Bima memaksa Maura untuk merespon dengan baik. "Walaupun kamu nggak suka atau nggak terpakai oleh kamu, tapi kamu wajib menerima dan mengucapkan terima kasih."
"Kenapa gue harus bilang makasih juga? Kan mereka ngasih sebagai wujud terima kasih mereka."
"Bilang terima kasih karena telah diberi sesuatu oleh orang lain, Maura." Salahkan wajah Bima yang terlihat semakin menarik di mata Maura, dia jadi secara nggak sadar mengganggukkan kepala. Lalu hari berikutnya Maura memaksakan diri untuk mengucapkan terima kasih, semata karena berpikir bisa membuatnya terlihat baik di depan Bima. Meski Bimapun jarang melihatnya.
Lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan yang Maura ucapkan secara refleks hingga saat ini. Ternyata mengucapkan dua kata itu bukanlah hal yang sulit. Apalagi Maura merasakan rasa bahagia yang memuncak kala murid-muridnya mengucapkan terima kasih setiap selesai belajar. Dia lebih merasa dihargai. Ternyata dua kata sederhana bisa berdampak sebesar itu.
Niatnya hanya mencicip, tapi saat ini sudah lima nagasari yang masuk ke perut Maura. Enak sekali, sepertinya ini tepung beras yang dikukus dan berisi pisang. Maura kira dia nggak akan cocok dengan makanan kampung, tapi sejauh ini nggak ada yang Maura nggak suka kecuali pete dan jengkol. Untung setiap harinya dia berjalan kaki cukup lama, kalau enggak bobot tubuhnya bisa melonjak drastis.
Bima tiba-tiba datang kala Maura sedang membuka bungkusan daun pisang nagasari keenamnya. Dia ikut duduk bergabung dengan Maura di teras rumah Ki Wawan.
"Maura," panggil Bima.
"Tumben pagi banget ke sini?" Biasanya Bima menjemput Maura untuk mengajar di bale warga. Tapi ini masih pagi sekali, Ambu saja belum selesai masak.
"Aku mau pamit. Aceng mendadak sakit, harusnya dia dan bapaknya ke Kota untuk jual tomat. Aku akan bantu gantikan. Kamu mau nitip sesuatu?"
Tangan Maura membeku. Tubuhnya langsung lemas. Salah satu hal yang paling Maura benci adalah momen di mana Bima pergi ke Kota.
"Emang nggak ada yang lain? Kan banyak laki-laki di rumah Aceng. Kenapa harus elo mulu sih?" protes Maura.
"Aku usahakan hanya satu hari, Ra," jawab Bima tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Tak Terlihat Lagi
ChickLitHanya ingin melarikan diri, sampai tak terlihat lagi.