13. Percakapan yang Mendalam

1.9K 311 146
                                    

Bima datang setelah sarapan, membawa beberapa buah kelapa muda yang baru dia petik dari pohon.

"Lagi," ucap Maura ketika sudah menghabiskan satu kelapa.

"Haus atau doyan?" tanya Bima heran.

"Dua-duanya," ungkap Maura jujur.

"Nanti perut kamu kembung," ucap Bima sambil menyodorkan kelapa baru yang telah dia kupas dengan golok.

"Dari kemarin gue pengen kelapa, soalnya panas banget." Maura menyeruput kelapa keduanya. Menikmatinya sambil sesekali memejamkan mata.

Bima menatap Maura yang sangat lahap meneguk air kelapa. "Lain kali aku akan taruh stok kelapa di rumah Ki Wawan sebelum aku pergi ke pasar."

Maura menjawab dengan mengangguk-anggukkan kepala.

Ahhhh... Betapa dia rindu meneguk air kelapa yang menyegarkan ini.

Dalam waktu singkat, air kelapa keduapun tandas juga. Maura mengelap bibirnya yang basah dengan perasaan puas. Dahaganya terpenuhi.

"Mak Enah dan Ibu-Ibu yang lain memuji kamu hebat. Jago bikin opak," Bima bercerita.

"Gue emang hebat," jawab Maura bangga.

"Tangan kamu masih sakit, Ra?"

"Sedikit."

"Boleh aku lihat?"

"Nih, masih merah-merah." Maura menunjukkan kedua tangannya. Memar di pergelangan tangannya pun baru memudar.

Perasaan khawatir merayap di benak Bima. "Besok Ibu-Ibu akan buat dodol untuk hajatan. Kamu nggak usah coba mengaduk, bantu bungkus-bungkusnya aja."

Maura mengangguk. Dia sih senang-senang aja. "Lo bakal ikut bikin dodol juga?"

"Iya. Aku biasanya kebagian tugas mengaduk adonan dodol."

Maura baru sadar, nyaris semua kegiatan di Pancabentang selalu ada peran Bima di dalamnya. "Kenapa sih, lo selalu pengen bantu mereka? Lo dapet keuntungan berapa dari jualan hasil panen, opak, sama yang lain-lain?"

Mengingat Bima mampu membelikannya skincare jutaan rupiah, uang Bima pasti nggak sedikit.

Bima menggelengkan kepala. "Semua keuntungan buat mereka."

Kening Maura mengerut. Merasa janggal dengan perilaku Bima. "Terus ngapain lo capek-capek bantu mereka? Supaya nggak diusir dari sini?"

"Enggak. Justru itu alasan aku masih ada di sini."

"Emang tadinya lo mau ke mana?"

"Pergi ke tempat Ibu."

"Pergi ke mana?"

Pandangan Bima menerawang ke atas langit. Setelah diam beberapa detik, dia baru menjawab. "Ke surga. Tapi...katanya kalau bunuh diri nggak akan masuk surga kan?"

Maura tercenung. Terlalu kaget mendengar ucapan Bima. Hening beberapa saat, rasa canggung menyeruak.

"Dark juga lo, Bim," tanggap Maura dengan kekehan yang dipaksakan. Kalau mantan teman-teman Maura yang mengucapkan kalimat tadi, dia masih mengira bercanda. Tapi ini Bima, pria tanpa ekspresi yang mengucapkannya dengan mimik serius.

Bima nggak menanggapi.

Dia bangkit dari duduknya, bersiap untuk pulang. "Aku pamit dulu ya, Ra."

"Lo mau ke mana?"

Bima terlihat berpikir beberapa detik sebelum menjawab, "Ke kandang domba dan sapi. Mau ikut?" Bima basa basi. Dia sudah yakin dengan jawaban penolakan Maura.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang