11. Pergi Sebentar

1.8K 291 112
                                    

Permisiii... Mau numpang lewat 3754 kata~

"Ra, pakai ini." Bima mengangsurkan semangkuk gel putih.

"Apaan nih?"

"Gel lidah buaya. Tadi baru aku buat. Untuk pergelangan tangan kamu yang masih merah."

Maura mengulurkan tangannya yang masih ada bekas memar. "Pakein," perintahnya. "Gue jijik liat bentuknya kayak ingus. Tangan gue merah-merah gini kan gara-gara lo."

Bima meraih tangan Maura, mengoles pergelangan tangan perempuan itu dengan hati-hati. "Kalau udah mengering, jangan lupa dioles lagi ya," ucap Bima sambil menekan rasa bersalah dan penyesalan, karena melihat pergelangan tangan Maura masih memerah, bahkan ada lebam di beberapa titik.

Maura buru-buru menarik tangannya yang masih tersentuh jemari kasar Bima.

"Kapan nih kita kumpul di mushola lagi?" Maura sangat menantikan momen rapat lagi. Dia juga nggak tau kenapa sesemangat ini.

"Nanti aku kabarin." Mengeluarkan secarik kertas dari saku celana, Bima menyodorkannya pada Maura. "Ini, daftar nama perempuan di Pancabentang. Maaf aku baru sempat buat."

Maura melotot melihat daftar nama yang nggak sedikit. "Semuanya banget harus gue wawancara?"

Bima mengedikkan bahu. "Terserah kamu. Tapi minimal lima puluh persen warga."

"Gue bukan wartawan, Bim!" Maura menyabet dada Bima dengan secarik kertas yang dia genggam.

"Kamu bisa tanya-tanya saat interaksi biasa. Nggak usah tanya jawab kayak lagi wawancara. Kalau ada yang nggak dimengerti, kamu bisa tanya aku."

"Sok pinter lo!"

"Semua manusia itu pintar karena punya akal pikiran, Maura."

"Tau nggak sih, lo itu nyebelin banget?!" sungut Maura.

Bima menganggukkan kepala. "Berarti kita sama-sama menghadapi orang yang menyebalkan."

Bola mata Maura semakin melebar. "Maksud lo gue nyebelin?"

"Bukan aku yang bilang."

"Anjing lo!"

Bima maju selangkah, menatap lekat wajah Maura. Mengecilkan volume suara, nyaris seperti berbisik. "Maura, kamu harus tau, urat-urat di wajah kamu menonjol saat kamu ngomel-ngomel. Hati-hati nanti cepat keriput."

"Sialan." Maura merendahkan suaranya. Dia memalingkan wajah, enggan melihat Bima.

"Bagus," Bima merujuk pada intonasi nada omelan Maura yang lebih rendah.

"Pergi lo dari sini!" teriak Maura lagi. Rupanya emosi perempuan itu masih tinggi.

Bima menganggukkan kepala. "Sekalian aku mau pamit."

Meski Maura nggak bertanya, tapi Bima tetap menjelaskan. "Aku akan ke pasar induk, ikut jualan dengan beberapa petani yang nggak menjual hasil panennya ke tengkulak. Biasanya dua malam."

"Bagus deh. Pergi aja yang lama. Jauh-jauh lo dari gue." Mengibaskan tangan, Maura mengusir Bima.

Belum menggerakkan kakinya, Bima masih menatap lekat Maura. "Maura," panggilnya pelan.

"Apalagi?"

"Jangan melakukan hal yang aneh-aneh ya," ucap Bima serius.

"Cerewet!" Maura makin jengah.

Tatapan Bima masih terpaku pada Maura. Dia khawatir perempuan di depannya melakukan hal yang di luar nalar manusia. Menghela napas pasrah, Bima berusaha percaya.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang