10. Mulai Terbiasa

1.8K 312 95
                                    

Nggak nunggu sebulan lagi kan?

"Kalau kamu nggak mau capek, sebetulnya kamu bisa wawancara Sekar. Kalian kan serumah."

Begitu ucap Bima semalam.

Perkataan Bima terus terngiang semalaman. Membuat Maura menimbang-nimbang, apa dia harus mendekati Sekar.

Sebetulnya Maura masih merasa jijik setiap menatap wajah mengerikan Sekar. Lima hari tinggal di rumah Ki Wawan, bisa dihitung jari berapa kali mereka bertegur sapa.

Tapi daripada tubuh Maura terpapar terik sinar matahari, jalan kaki berkilo-kilo, belum lagi kalau kebelet buang air kecil tapi jarak jamban sangat jauh, sepertinya wawancara Sekar lebih menguntungkan.

Maura mengintip dapur, mendapati Sekar sedang menggoreng tempe.

Berdeham, Maura berjalan mendekati Sekar. "Sekar, aku udah sembuh. Kayaknya kita bisa sekamar lagi."

Sekar tersenyum lebar. "Alhamdulillah, Teh. Nanti malam Sekar pindah yah."

"Kamu lagi apa?" tanya Maura basa-basi.

"Goreng tempe, Teh. Teteh suka tempe kan? Kalau Ambu lagi ambil lejet di luar," jawab Sekar sambil mengangkat beberapa potong tempe goreng yang sudah matang.

"Lejet?" Maura belum pernah mendengarnya.

"Teh Rara udah bangun?" Ambu menyapa dari balik pintu. Wanita itu membawa sekeranjang sayur mayur segar.

"Itu namanya lejet, Teh." Sekar menunjuk beberapa labu di dalam keranjang yang Ambu bawa.

"Oh...aku taunya labu siam." Banyak juga nama lain sayur yang harus dia hapal.

"Teh Rara mau bantuin potong-potong?" tanya Ambu.

"Iya, Bu." Maura meraih pisau yang diangsurkan Ambu.

"Tolong dibagi dua dulu, terus digosok-gosok sampai getahnya keluar," Ambu memberi instruksi. Maura menganggukkan kepala pertanda mengerti.

Ambu pamit keluar rumah untuk membantu Ki Wawan membersihkan ayam yang baru disembelih, lalu menyerahkan urusan masak-memasak pada Sekar dan Maura.

"Teh Rara, udah selesai menstruasinya?"

"Hmm....kenapa, Sekar?" Maura bertanya balik.

"Nanti sore ada pengajian remaja. Teteh diajakin," jawab Sekar.

"Harus ikut nggak?" Sebetulnya Maura ingin langsung menolak.

"Kang Bima ikut, nyuruh Sekar ngajakin Teteh. Katanya Teh Rara pemalu, harus diajak duluan."

"Kurang ajar lo, Bima!" umpat Maura dalam hati.

"Tapi aku bukan remaja. Umurku sebentar lagi tiga puluh," elak Maura.

"Semua yang belum menikah ikut perkumpulan Karang Taruna, Teh. Tetap dianggap remaja. Kang Bima usianya tiga puluh lebih."

Maura terdiam, ingin menolak tapi malas berurusan dengan Bima.

"Tenang aja, nanti Sekar temani, Teh," Sekar menambahkan.

"Duduk diem aja kan?"

"Iya, Teh. Hari ini jadwal kajian sama Pak Ustad Dede."

"Yaudah," jawab Maura ketus. Dia kesal sekali pada Bima. Selalu memaksanya melakukan sesuatu yang nggak dia suka. Meski dipikir-pikir, nggak ada satupun kegiatan yang Maura suka di Dusun ini.

"Oh iya." Sekar menepuk keningnya. "Maaf, Teh. Punteeen pisan ini mah. Bukannya Sekar nggak mau, tapi Kang Bima ngelarang Sekar nyuciin baju Teteh. Abis sarapan kita nyuci bareng ya, Teh?" Sekar baru ingat semalam Bima berkali-kali menitipkan pesan agar Maura mencuci sendiri. Kang Bima merupakan sosok yang Sekar hormati dan segani, layaknya Ki Wawan. Seluruh perkataannya akan Sekar turuti tanpa tapi.

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang