Kegiatan belajar "baca, tulis, dan berhitung" sudah berlangsung selama dua minggu di masjid. Awalnya yang ikut hanya Sekar dan beberapa teman-teman dekatnya. Di minggu kedua ini, murid Maura semakin membludak, akibat info kegiatan belajar tersebut sudah tersebar ke seluruh Pancabentang dan Bentangluar. Dari mulut ke mulut, teman-teman Sekar mengatakan bahwa ternyata kegiatan belajar itu menyenangkan.
Beberapa tahun lalu Maura sempat menjadi volunteer guru di pelosok Negeri, dipaksa oleh Mami agar imagenya semakin baik. Di situ Maura bertemu dengan banyak pengajar dan mendapat banyak pengetahuan baru tentang ilmu mengajar yang baik dan menarik. Bukan hanya komunikasi satu arah yang memberi tahu materi ajar.
Awalnya Maura hanya mengajar sendirian, tapi semakin banyaknya murid membuat dia kewalahan. Akhirnya Bima turun tangan untuk ikut membantu. Setiap kelompok umur dibagi dalam beberapa kelas di jam yang berbeda dari pagi hingga siang. Lalu dilanjut setelah sholat isya dan makan malam, Bima membantu Maura menyiapkan bahan ajar.
Yang nggak Maura sangka, ternyata warga Pancabentang memiliki daya ingat yang baik. Dalam dua minggu, mereka sudah mampu melewati materi membaca suku kata tertutup yang diakhiri oleh konsonan. Besok pagi Maura akan mulai memasuki materi membaca satu kalimat utuh dan dia akan memulai kelas dengan sebuah game yang menarik.
"Aku nggak nyangka kamu setotalitas ini, Ra. Kamu punya bakat mengajar," ungkap Bima jujur. Dia tahu sepintar dan seberbakat apa Maura dari berita-berita di televisi sejak dia kecil. Tapi Bima tetap nggak berhenti dibuat takjub oleh aksi Maura.
"Maura Ayuka memang selalu totalitas. Gue udah lama nggak merasa "sehidup" ini, Bim." Maura sedang menggambar objek di atas daun dengan cat air yang Bima beli untuknya. Minggu lalu Bima pergi ke Kota dan membelikan Maura peralatan tulis, gambar, dan melukis yang lebih lengkap. Lalu setiap malam Maura menghabiskan waktunya untuk melukis bahan ajar. Meski hanya terbantu oleh pendar cahaya petromak, tapi api semangat Maura nggak pernah padam.
Tugas Bima hanya mengumpulkan beberapa daun jatuh yang masih segar, lalu menulisnya dengan kata yang sesuai dengan gambar yang sedang Maura lukis.
"Gambar kamu juga bagus," puji Bima.
Maura terkekeh. "Dulu gue selalu melukis kalau gue lagi libur, Bim."
"Nanti kalau ke Kota aku akan belikan peralatan lukis yang lebih lengkap dan bagus untuk kamu," janji Bima. Dia suka melihat Maura yang fokus menorehkan gambar-gambar indah dengan penuh gairah dan semangat.
"Thank you. Jangan lupa beliin beberapa buku bacaan untuk anak-anak. Prediksi gue beberapa minggu lagi mereka udah bisa baca buku cerita. By the way, tabel perkalian udah jadi, Bim?" Maura menugaskan Bima untuk membuat tabel perkalian sebanyak warga yang mengikuti kegiatan belajar untuk dibagikan kepada mereka.
"Kertas kartonnya kurang, Ra. Nanti sekalian belanja saat aku ke Kota."
Maura mengangguk-anggukkan kepala. "Yaudah besok dibagiin ke kelas Sekar aja dulu deh. Yang kelas anak kecil masih bisa ditunda, karena pace belajarnya lebih santai."
Bima nggak bisa menahan senyumnya melihat keseriusan Maura. "Makasih banyak ya, Ra. Yang kamu lakukan itu sangat berarti untuk Pancabentang."
Maura tertegun mendengar ungkapan Bima. Baginya, hal yang dia lakukan nggak seberapa untuk Pancabentang. Menaruh kuas di sebelah daun, Maura menghentikan kegiatannya. Menaruh fokus pada Bima sepenuhnya, Maura berbisik. "Gue...bukan orang baik, Bim. Tapi gue bisa kan Bim jadi orang baik?"
Beberapa bulan berada di tengah keluarga Ambu dan warga Pancabentang yang baik dan sangat perhatian, membuat Maura seenggaknya ingin membalas kebaikan mereka. Apalagi pria di hadapannya ini, Maura ingin seenggaknya meninggalkan kesan baik, bukan hanya sekedar Maura si tukang marah, sebelum mereka berpisah. Urgh, membayangkan perpisahan itu saja Maura nggak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Tak Terlihat Lagi
ChickLitHanya ingin melarikan diri, sampai tak terlihat lagi.