Semoga nggak bosan yaa karna di dalam chapter ini narasinya panjang (banget). Harus dibaca perlahan 😆. Sebenernya masih harus diedit tapi aku mager, ditunda makin lama sih pasti updatenya. Jadi monmaap aku publish apa adanya yaaa wkwkwkwk. Met malam mingguan 🫶.
Sudah enam bulan Maura tinggal di Pancabentang. Dia takjub dengan dirinya sendiri yang masih bertahan di sini dengan keadaan yang...baik-baik saja? Padahal sebelumnya Maura kira...dia akan depresi berat seenggaknya setelah satu minggu menetap di desa terpencil ini.
Berarti sudah genap enam bulan juga Maura detoksifikasi digital, nggak menggunakan perangkat teknologi seperti telepon pintar, televisi, ataupun mengakses internet dan media sosial. Enam bulan pula dia lalui tanpa listrik, peralatan elektronik, atau bahkan sesederhana menggunakan lampu di malam hari.
Jujur, awalnya terdengar mengerikan. Tapi, setelah dijalani, Maura merasa kedamaian kini berteman dengan dirinya. Apalagi di sini dia ditemani oleh orang-orang baik. Maura bisa merasakan ketulusannya.
Setiap hari Ki Wawan menyediakan bahan pangan lewat hasil panen yang dibawa setiap hari, Ambu memasak makanan lezat yang sederhana, juga Sekar yang menjadi teman berbincang hingga malam hari. Belum lagi ada Bima yang...katakanlah...membuat Maura semakin betah di Pancabentang. Kesibukannya mengajar murid-murid yang pintar bahkan semakin membuat Maura melupakan masalah hidup dia yang sesungguhnya. Aneh, Maura nggak punya apapun di sini, nggak pernah mengakses m-bankingnya, nggak lagi menggunakan rupiah sedikitpun, hidup sederhana, tapi merasa cukup.
Maura pun kini disibukkan dengan kegiatan mengajar tiga kali dalam seminggu. Meski nggak boleh membangun sekolah non formal, tapi murid-murid Maura semakin pintar. Saat ini mereka lebih sering praktikum ketimbang belajar teori. Praktikum yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, seperti simulasi kegiatan jual beli yang membuat murid-murid Maura semakin lihai menghitung uang, membuat buku cerita sendiri yang mengasah imajinasi mereka, juga membuat kerajinan tangan yang bernilai jual.
Semua terasa baik dan nyaris sempurna. Hanya saja...kadang di malam hari Maura merasa masih ada yang 'kosong'. Entah karena apa.
Apalagi setelah beberapa bulan nggak dihantui mimpi buruk, akhir-akhir ini Maura mulai sering memimpikan Mami lagi. Yang membuatnya bangun dengan mood buruk lalu berimbas kepada murid-muridnya yang dia ajar nggak maksimal atau Maura melampiaskannya pada Bima.
Setiap mimpi buruk, Maura selalu terbangun dengan napas ngos-ngosan dan kening berembun keringat. Berakhir termenung hingga disadarkan Sekar untuk solat subuh berjamaah.
Perasaan damai yang mulai Maura rasakan perlahan mulai lenyap lagi karena mimpi itu. Awalnya mimpi itu nggak berpengaruh terhadap kehidupan Maura di Pancabentang. Tapi intensitas mimpi buruk itu semakin sering. Bahkan kian hari semakin menakutkan.
Dari mulai Maura yang ditemukan oleh Mami lalu berujung penyiksaan tiada henti. Sampai terakhir Mami menyiksanya hingga dia mati.
Maura takut. Perempuan itu nggak menampiknya.
Dia mulai kembali menghitung hari dan tanggal, seperti yang Maura lakukan saat baru menginjak Pancabentang. Ternyata sudah tujuh bulan berlalu sejak Maura melarikan diri. Berarti mimpi itu sudah menghantuinya selama satu bulan terakhir.
Maura jadi sering termenung, menyadari ini waktu terlama Mami nggak berhasil menemukannya. Entah mengapa Maura jadi cemas. Dia kembali bertanya-tanya, apakah Mami belum berhasil menemukannya, atau malah sedang merencanakan sesuatu yang lebih mengerikan?
Maura menjadi lebih sensitif. Dia sering melampiaskan rasa stresnya dengan mengomeli Bima tanpa sebab. Seperti sesepele Bima yang membuat garis di atas kertas yang nggak rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Tak Terlihat Lagi
ChickLitHanya ingin melarikan diri, sampai tak terlihat lagi.