25. Memantaskan Diri

2.2K 301 86
                                    

Yuk bisa yuuuk sebelum lahiran tembus chapter 30 🤣🤣🤣🤣. Maafkaaan bumil magerr mikir 🤧🤧.

Chapter ini kebanyakan dialog yaa. Bayangin kamu yang diajak ngobrol sama Kang Bima 🤗.

Tiga hari membuang waktunya untuk melamun, Bima mencapai satu kesimpulan. Bolehkah Bima memantaskan diri? Masih bisa kah dia? Masih adakah kesempatan?

Lamunan Bima terhenti karena pandangannya terhalang oleh seseorang. Yang membuat Bima terdistraksi dan lidahnya semakin kelu.

"Bima! Lo...nggak ada gitu yang mau lo omongin? Gue udah capek menghindar."

===

Bima mengajak Maura duduk di padang rumput atas bukit. Di mana sungai yang menjadi pemandangan utama mereka. Ini adalah tempat yang sama dengan momen pertama Maura menemani Bima mengarit rumput untuk pakan domba. Bima masih ingat betul bagaimana cantiknya Maura di momen matahari terbenam kala itu.

Entah kapan persisnya, Bima dan Maura sering menjadikan tempat ini sebagai lokasi bersantai mereka. Seringnya mereka mengobrol berdua di sini, sambil menemani Bima mengarit rumput, atau sekedar menatap sungai dan mendengar suara aliran air yang menenangkan.

Bima dan Maura belum melemparkan suara sampai bokong mereka mendarat di atas rerumputan.

"Maura," panggil Bima.

"Hm?" Maura menaikkan kedua alisnya, menunggu Bima berbicara.

Bima menarik napas dalam, menyiapkan diri untuk mengutarakan pikirannya beberapa hari terakhir. "Setiap perempuan...berhak memiliki pasangan dengan latar belakang yang baik. Pekerjaan mapan, keluarga yang bergaris keturunan baik."

Bima menoleh pada Maura. Memastikan wanita itu menatapnya juga. Kemudian dia melanjutkan, "Apalagi Maura Ayuka. Aku bukan penggemar kamu, nggak pernah mengikuti perkembangan karir kamu. Tapi yang aku tahu...nyaris sepanjang hidupku...kamu selalu muncul di iklan layar kaca, atau wajahmu tercetak di beberapa produk yang aku temukan di supermarket. Dan aku yakin...usaha dan kemampuan kamu pasti sangat besar, Ra. Kamu itu berhak mendapatkan segala hal terbaik. Karena sepanjang hidup...kamu itu nggak pernah berhenti berusaha dan bekerja keras."

Bima menunjuk dadanya sendiri. "Sedangkan aku, sepanjang hidupku diisi dengan pemberontakan. Aku nggak pernah tahu apa cita-citaku, Ra. Apa keinginanku selain ingin Ibuku cepat pulang ke rumah. Duluuu...sekali, puluhan tahun lalu, aku pernah jadi anak yang lumayan punya prestasi, cuma untuk membanggakan Ibuku. Di pikiranku saat itu...hanya ingin Ibu bangga. Tapi sampai akhir hayatnya, aku belum pernah membanggakan Ibu."

Bima merasakan matanya memanas dan berkaca. "Aku manusia tanpa harapan, Ra. Itu alasan utama kenapa aku bertahan delapan tahun di Pancabentang. Aku udah kehilangan harapan. Nggak ada satupun yang aku inginkan di luar sini."

Lelaki itu memberanikan diri meraih kedua tangan Maura. "Tapi...kehadiran kamu membawa sebuah harapan untukku, Ra. Sayangnya aku nggak pantas. Mungkin belum?"

Bukannya mengendur, tapi genggaman tangan Bima kian erat. "Sebenarnya aku itu pengecut, Ra. Tapi...untuk pertama kalinya, aku mau mencoba untuk nggak menghindar. Kamu jauhh ada di atasku. Belum tergapai."

Maura masih bergeming, mendengarkan dengan seksama setiap kata demi kata yang terlontar dari mulut Bima. "Kamu itu...terlalu hebat, Maura. Kamu nggak pantas turun ke bawah untuk menyesuaikan diri sama aku. Jangan, ya. Biarkan aku...berusaha untuk ikut naik ke atas, supaya kita bisa sejajar. Aku nggak mau jadi pengecut lagi, aku akan memperjuangkan kamu, Maura."

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang