19. Pulang dengan Gerobak

1.5K 275 43
                                    

"Kamu mau bala-bala nggak?"

"Apa itu?"

"Bala-bala itu bakwan, gorengan dari tepung dicampur wortel dan kol. Bakwan di sini enak banget. Aku pesankan untuk kamu ya. Kamu duduk di sini." Bima menepuk teras bambu untuk Maura duduki.

Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, Bima dan Maura berhenti di sebuah warung kecil tepi sawah. Di sini Bima akan bertransaksi dengan warga desa.

Setelah menunggu sekitar 15 menit, sang pembeli opak datang. Bima mengeluarkan beberapa karung opak, lalu seorang lelaki paruh baya menghampirinya dan menukar opak tersebut dengan beberapa lembar uang.

Berselang beberapa menit kemudian, seorang pemuda menghampiri mereka. Ternyata dia membawa titipan belanjaan Bima berupa beberapa karton minyak goreng dan alat tulis.

"Duh, Kang Bima, ini mah kebanyakan lebihnya." Pemuda itu menyodorkan kembali lembaran uang dari Bima.

"Nggakpapa, Kang.  Ambil aja. Hatur nuhun udah bantuin belanja." Bima menggenggam tangan sang pemuda, menolak mengambil kembalian uang yang sangat berlebih.

"Hatur nuhun pisan, Kang. Mugia rejekina lancar. Abi tipayun nya, Kang. Aya urusan ngadadak. Hampura euy teu tiasa ngiringan ngopi (Semoga rejekinya lancar. Saya duluan ya, Kang.  Ada urusan mendadak. Maaf ya nggak bisa ikut ngumpul sambil ngemil).

"Teu nanaon, Kang." Bima menyematkan senyuman penuh pemakluman.

"Untung aya kabogoh nya, Kang. Punten, abi tipayun nya, Kang, Teteh!"

Maura menjawab sapaan sang pemuda dengan anggukkan kepala.

"Bim, kabogoh itu apa?" tanya Maura ketika pemuda itu sudah hilang dari pandangan. Dia sudah menghabiskan empat buah bakwan selagi menunggu Bima bertransaksi. Bakwannya memang enak sekali, renyah dan nggak terasa berminyak.

Bima menggeser teh tawar hangat ke hadapan Maura yang baru disajikan Ibu Warung. "Pacar. Dia mengira kita pacaran. Mungkin karena aku nggak pernah bawa perempuan, jadi dia salah paham."

Maura mengangguk-anggukkan kepala sambil menahan senyuman. "Beneran juga nggakpapa."

"Maksudnya?"

"Iya nggakpapa kita dianggap pacaran, biar nggak ada yang gangguin gue." Maura berlagak menaikkan kedua bahunya santai. Padahal kegugupan sedang melanda.

"Pernah ada yang gangguin kamu di Pancabentang?"

"Nggak ada. Sekar bilang orang-orang ngegosip kita dekat. Mungkin banyak yang mengira kita ada hubungan." Itu memang sebuah informasi yang baru Maura dengar dari Sekar semalam. Tapi entah mengapa Maura nggak ingin menepis gosip itu.

"Kasih tau aku kalau ada yang gangguin kamu. Ini gehunya enak, kamu harus coba, Ra." Bima menerima sepiring gehu alias tahu goreng isi sayur yang masih panas dari Ibu Warung.

Untuk meredakan rasa gugup, Maura menggigit gehu yang ternyata panas sekali. "Njir panas banget!" Dia mengipaskan lidahnya dengan tangan.

"Pelan-pelan, Maura. Masih panas." Bima menyerahkan segelas teh tawar.

Untung gehunya betulan enak, jadi Maura nggak kapok melahapnya meski masih panas. Sambil meniup gehu yang menguarkan asap, Maura menanggapi, "Terus kalo ada yang gangguin gue, lo mau ngapain? Lapor ke Ki Wawan? Gue juga bisa ngadu doang mah."

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang