16. Tentang Pancabentang

1.6K 304 77
                                    

Maura dan Bima duduk berhadapan dengan Ki Wawan di dalam rumah. Bima akan mengutarakan gagasan sekaligus meminta izin untuk mengajarkan ilmu baca tulis kepada seluruh perempuan di Pancabentang.

Maura sudah bertekad hanya akan duduk diam mendengarkan Bima dan Ki Wawan. Dia sedang malas mengeluarkan suara.

"Ki, saya dan Rara bermaksud untuk meminta izin mengajari perempuan di Pancabentang untuk belajar baca dan berhitung."

Selama mengenal Bima di Pancabentang, Maura mengakui Bima termasuk lelaki yang memegang janjinya. Padahal saat di ladang rumput kemarin Maura hanya cerita gagasannya mengenai mengajari Sekar membaca. Lalu Bima berjanji akan membantu untuk berbicara dengan Ki Wawan. Yang nggak Maura sangka adalah eksekusinya yang secepat ini.

Jantung Maura berdetak lebih cepat ketika melihat raut Ki Wawan yang berubah. Senyumnya hilang, wajahnya tegang.

"Bima, kamu tahu kan, éta teh hal tabu di Pancabentang?"

"Muhun (iya), Ki," Bima mengangguk, badannya ikut sedikit membungkuk.

"Kalian tahu teu (tidak), salah satu alasan Pancabentang tetap bertahan seperti ini, teu bergerak meskipun dunia semakin aneh dan modern?" tanya Ki Wawan dengan logat Sundanya yang kental. Sebisa mungkin beliau berbahasa Indonesia agar Maura tetap paham. Meski begitu, Maura dan Bima tetap bingung harus menjawab apa.

"Karena kami semua selalu merasa cukup," jawab Ki Wawan tegas.

"Teh Rara sareng Kang Bima parantos ningali imah-imah di dieu (udah lihat rumah-rumah di sini) kan? Sarua. Semua sama. Teu aya nu pangmewahna, pangalusna (nggak ada yang paling mewah, paling bagus). Semua teh sarua. Kami teh teu punya napsu dunia. Teu pernah serakah. Ya kusabab eta, selalu ngarasa cukup. Nu aya (yang ada) di pikiran kami teh akherat. Kami teh dilahirkeun di alam Pancabentang, supados ngajaga (supaya menjaga) alam ieu tetap lestari. Eta weh tugas kami."

Ki Wawan menambahkan, "Semua karena kami selalu ngarasa cukup. Manusia itu...semakin banyak tau, semakin penasaran, semakin banyak keinginan, semakin serakah."

"Naha nu sakola teh lalaki hungkul? Kenapa yang sekolah laki-laki aja? Kang Bima parantos (udah) tujuh tahun di Pancabentang, teu sedikit nyaksikeun lalaki nu ngarantau jauh. Alesanna teh mau sakola leuwih tinggi. Tapi ketika manusia sudah terlena dengan dunia, ya lupa. Yang kembali lagi ke Pancabentang sedikit. Sebagian besar anu ngarantau moal balik ka dieu (yang merantau nggak akan kembalik ke sini)."

"Udah ngarasa enak hidup aya (ada) listrik, serba modern, serba aya. Yang tadinya ngarasa cukup di Pancabentang, ayeuna teh kurang."

"Tapi, Ki, ini kan cuma belajar baca, bukan sekolah," Maura nggak tahan juga untuk berkomentar.

Ki Wawan menunjuk daun telinganya. "Sok potong telinga Aki kalau nggak kejadian. Aki mah yakin, setelah belajar baca, mereka pasti mau sakola."

Maura dan Bima membiarkan Ki Wawan melanjutkan bicara, "Kenapa perempuan di sini teu sakola? Untuk membuat mereka tetap di sini. Lamun (kalau) perempuan pergi dari Pancabentang, suatu saat kami akan musnah. Teh Rara tahu kan kenapa Ki Hadi tinggal di Bentangluar? Istrinya bukan keturunan Pancabentang. Hanya anak dari ayah dan ibu keturunan Pancabentang yang boleh tinggal di sini."

"Saur (kata) laluhur kami teh, semua keturunan Pancabentang ditakdirkan untuk menjadi penjaga alam. Makanya di Pancabentang teh leuwih loba (lebih banyak) anak lalaki ketimbang perempuan. Jadi, anak lalaki dibolehkan merantau jauh. Dengan resiko mereka lupa Pancabentang, nggak akan kembali lagi ke sini. Atau membawa perubahan yang nggak sesuai dengan ajaran leluhur."

Sampai Tak Terlihat LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang