Menemukan Diri, sekali lagi.

324 13 6
                                    

Dia lahir begitu rapuh. Apa dia tahu dunia begitu kejam? Atau dia malu punya orang tua pendosa seperti aku?

Bagaimana pun kamu tidak pantas mati, Nak. Aku yang pantas. Aku sudah melihat nisanmu lebih dari satu jam. Mungkin aku akan lupa waktu kalau Mai tidak menepuk bahuku dan mengajakku pulang.

"Panas tau, dia juga pasti gamau lihat ibunya kepanasan."

Maisha selalu menemaniku saat aku ingin mengunjungi anakku--Wulan.
Kata Pak Ustadz meskipun ia sudah meninggal saat dilahirkan ia tetap harus diberi nama. Untuk memudahkan kita mengirim doa. Wulan binti Sabrina. Mungkin itu nama panjangnya.

"Yuk balik," Ngomong-ngomong, aku tinggal dengan Mai sekarang. "Lampu depan mati tau."

"Masa cewek tomboy gak bisa masang lampu sih." ejekku.

"Kan lo tau gue trauma, tetangga gue meninggal kesetrum depan mata gue waktu gue kecil." jelasnya.

"Iya, pegangin tangga aja."

Aku dan Mai menyewa kontrakan dua kamar, meskipun kamarku sekarang jauh lebih sempit dibanding kamarku di rumah. Tapi kontrakan ini terbilang luas untuk ditinggali berdua.

Mungkin orang-orang akan mengira kami pasangan lesbian. Tapi mereka belum melihat kamar Maisha yang temboknya penuh poster Chris Hemsworth. Dia adalah fans besar Marvel. Sedangkan aku hanya memasang satu foto aktor--River Phoenix.

Setelah aku melahirkan 5 bulan yang lalu, aku tidak pernah lagi pulang ke rumah. Kecuali untuk mengambil barang-barangku. Tapi kadang Ibu, Abang, dan Kak Rinda sesekali mengunjungiku ke kontrakan. Seperti anak pesantren yang dikunjungi keluarganya, kecuali si Ayah.

Tapi tidak apa-apa. Aku mengerti kondisi Ayah. Mungkin orang yang paling malu karena kejadian yang menimpaku adalah Ayah. Ayah pasti merasa gagal membesarkanku, apalagi Ayah berasal dari keluarga yang religius.

Baru-baru ini semua yang terjadi padaku bisa ku mengerti. Kecuali kepergiannya.

Belum lama ini aku mengetahui bahwa dia setidaknya masih hidup lewat postingan instagram bisnisnya.
Dia punya bisnis tattoo sekarang, di Bali.

Maisha bilang aku seharusnya coba mengirim direct massage saja untuk memberitahu tentang apa yang telah terjadi.
Namun aku menolak. Aku sudah tidak ingin berharap, apalagi menjual cerita tentang anakku hanya untuk menarik simpatinya. Aku sudah cukup dibuat bodoh. Sekarang tidak akan lagi.

Aku akan fokus pada project film feature¹ pertamaku yang disutradarai oleh teman kuliahku. Beruntung ia mempercayakanku jadi asisten sutradara 2.

Rasanya senang kembali bekerja setelah apa yang terjadi padaku, seperti menemukan diriku, sekali lagi.

Premis film yang akan segera aku produksi ini bercerita tentang anak punk yang bertemu karakter manic pixie dream girl dan akan berlatar di kota Surabaya.

Jujur aku tidak sabar untuk segera produksi.

"Na," Mai berteriak dari luar kamar.

"Apalagi? Mati lagi lampunya?"

"Jangan sampe dong, gue udah 2x beli." ucap Mai sambil berjalan memasuki kamarku.

"Terus kenapa?"

"Itu..." Mai tampak ragu.

"Apa sih? Gue mau meeting online ini." ucapku mulai kesal.

"Kak Fikran DM gua."

______________Bersambung____________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________Bersambung____________

Ya ampun, hampir setahun tidak menyambangi cerita Fikran dan Na.

I know most of my reader are gone, tapi buat yang masih baca sampai sini tolong komen dong 🙏

Tunjukkan diri dengan vote juga ❤️

Doain aku jadi rajin update, karena aku juga pengen cerita ini bisa aku selesaikan dengan baik.

Thank u, see u next chapter semua✨️

Denpasar, 15 Oktober 2023

SoulhateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang