Mencari Jawaban

2K 46 1
                                    

Aku agak sibuk akhir-akhir ini, tapi masih aku sempetin up. Jadi tolong votenyaaa :)

Kabar bahwa aku dilamar Irza sudah sampai ke keluarga besarku. Bukannya senang, aku malah risau. Harusnya ini masih jadi rahasia, karena aku pun belum memberikan jawaban.

Bang Firza berulang kali bertanya padaku "lo udah yakin dek?" tapi aku selalu menjawabnya dengan mengangkat bahu.

Bang Firza bukannya gak menyetujui hubunganku dengan Irza, tapi dia lebih gak menyangka adiknya sudah dilamar.  Jika aku menerima, itu artinya aku harus pergi dari rumah dan mengikuti suamiku. Sedangkan Ibu dan Ayah akhir akhir ini terasa semakin dekat denganku. Semakin ingin menghabiskan waktu denganku, supaya mereka tidak ada penyesalah kalau putrinya dibawa pergi oleh suaminya sewaktu-waktu.

Aku sendiri bingung harus menanggapinya seperti apa. Sebab di dalam pikiranku bukan hanya ada lamaran Irza yang perlu kujawab.

Sebutlah aku gila, karena belakangan ini aku sering uring-uringan karena pria lain. Dia bilang akan mengirimkan pesan, tapi sudah dua minggu belum ada juga notifikasi dari dia.

Pembohong!

"Na, begitu rindu aku dengan tubuh ini."

"Ahh Na kamu cantik sekali."

"Na perasaanku masih sama."

Ucapan pria yang sedang birahi memang tidak bisa dipercaya. Lagi pula kenapa dia selalu banyak bicara kalau sedang begitu, lalu aku juga kenapa gak bisa menahan diri jika berada di dekatnya?

Sial. Aku seperti anak SMA saja.

Aku mencium wangi bawang yang ditumis. Wangi favoritku, tapi aku mendadak enek seketika saat melihat pacarku berjalan ke arahku dari pintu utama rumah.

Dia pacarku, meski dia kadang menjengkelkan tapi aku menyukainya, dia baik, meski kadang suka menggampangkan sesuatu karena dirasa bisa dibeli dengan uang. Itu bukan salahnya. Dia terlahir dari keluarga yang kaya, atau mungkin kaya raya, jadi dia gak pernah mencicip kemiskinan barang sedikit pun.

Tapi rasanya aku gak kuat melihatnya lama-lama sekarang. Apa pengaruh Kak Fikran sampai sebegitunya? Apa dia melakukan semacam hal mistik padaku, misalnya pelet?

Kenapa aku jadi goblok begini?

Buat apa dia melakukan itu, tidak dipelet saja aku sudah memasrahkan diri padanya.

"Nanti malem nonton yuk yang." ajak Irza sambil tersenyum penuh harap padaku.

Aku lelah, dua minggu ini jadwal kerjaanku padat. Tapi aku sungkan menolak.

TING!

Fikran

Na, nnti mlm bisa ktmu?

Tiba-tiba rasa sungkanku hilang karena muncul notifikasi yang kutunggu selama dua minggu ini.

"Nggak dulu ya, Za. Aku capek." ucapku.

Aku memang sinting, kan?

***

Malam harinya, aku memutuskan membawa mobil karena gerimis, aku menuju ke taman kota. Karena aku dan Kak Fikran janjian disitu.

Aku mencari si gondrong itu di sekitaran taman kota dan aku mendapatinya sedang duduk sambil merokok di angkringan sebelah taman kota. Angkringan yang beberapa kali pernah kudatangi.

Kak Fikran segera memayungiku saat aku turun dari mobil, padahal hanya gerimis yang tidak akan membuatku basah kuyup. Dan kenapa dia begitu inisiatif?

"Ini Bude." ucap Kak Fikran pada ibu pemilik angkringan yang pada tempo hari memelukku karena aku menangis tiba-tiba.

"Oh si eneng."

Apa mungkin...

"Ini Budeku, Na."

Aku kaget, karena kukira Bude Kak Fikran pastinya orang Jawa. Dan juga sedikit malu, karena aku pernah menangis tersedu-sedu di pelukan Budenya.

"Aku Sabrina bu..." sapaku lalu langsung mencium tangannya.

"Iya, iya, panggil aja Bude Nur. Sugan teh saha, ternyata si eneng." ungkap Bude Nur.

"Bude udah kenal?" tanya Kak Fikran.

"Pernah kesini nya neng nya. Atuh pantes kamu gagal move on, geulis kieu." ucap Bude Nur sambil mengusap rambutku.

Sepertinya Kak Fikran sering membicarakan eksistensiku pada Budenya.

"Mau apa? Wedang weh ya? Udaranya lagi dingin." Bude Nur kembali berdiri di balik gerobaknya, membuatkan menu wedang yang ditawarkannya.

"Bude kamu orang Sunda, kenapa manggil Bude?" tanyaku karena aku heran sendiri.

"Bude dan keluarga ibuku orang Jawa. Tapi Bude dari kecil ikut eyangnya tinggal di Tasik."

Aku mengangguk-anggukan kepala. Rasanya sedikit haru mendengar Kak Fikran bisa bercerita soal keluarganya.

"Aku akan cari keluarga Bapak, Na."

Aku cukup kaget, yang kutahu Kak Fikran sudah tidak mau peduli lagi dengan bapaknya. Dia dulu bahkan pernah beberapa kali mengungkapkan rasa bencinya pada sosok bapaknya yang gak pernah dia kenal. Tapi itu mungkin saat kami masih SMA, saat darah muda kami masih seringkali meletup.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Aku ingin tahu apa keluarga ibu-bapakku pantas menyatu dengan keluarga ibu dan ayah kamu." ucapnya.

Dan aku menatapnya nanar.

____________Bersambung_____________

____________Bersambung_____________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Source : Pinterest

7 Oktober 2021

SoulhateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang