Bagaimana kami bertemu?

2.9K 67 0
                                    

Kalau dipikir pikir, takdir itu lucu juga.

6 bulan bersama, lalu bertemu lagi setelah 6 tahun. Catat, lebih lama perpisahan daripada kebersamaan yang terjadi. Tapi kenapa memori 6 bulan itu sangat jelas teringat daripada 6 tahun perpisahan?

Dan lagi pertemuan kembali ini terjadi di situasi yang bahkan tidak lebih baik dari pertemuan pertama dulu.

"Boleh minta tanda tangannya, Kak?" tanya Na. Masa orientasi memang seperti uji nyali bagi murid baru.

"Siapa yang nyuruh?" yang dimintai tanda tangan malah merespon dengan pertanyaan.

"Kakak yang pake kacamata itu." tunjuk Na.

"Edho bangsat!" umpat Fikran, sedangkan yang diumpati hanya nyengir tak berdosa. "Pergi aja."

"Gak bisa Kak, kalau saya gak dapat tanda tangan Kakak, nanti saya gak dibolehin istirahat."

"Boleh."

"Katanya gak boleh."

"Kata saya boleh."

"Kakak OSIS juga?"

"Ck. Sini." Akhirnya Fikran memutuskan memberi tanda tangannya. Agar perdebatan kecil ini tidak semakin panjang.

"Oke, makasih ya Kak... Fikran. You save my life." ucap Na semringah. Lalu pergi kembali membaur dengan rombongan teman-teman seangkatannya.

"Kakak kapan keluar?" Ina memecah keheningan yang sudah terjadi sejak mereka tiba di tampat Fikran.

"Belum ada setahun."

Na melihat sekeliling, mendapati foto anak kecil yang tergantung di tembok putih itu, membuatya merasa sedikit gelisah.

"Eum, Kakak udah nikah?"

"Menurut Na?"

Ah, Na berantakan. Baik secara fisik dan mental, maksudnya perasaan.

Kapan terakhir orang memandangnya sambil menyebut panggilan akrabnya 'Na'?

Irza tidak mungkin, pacarnya yang narsis dan hanya memikirkan diri sendiri itu mana mungkin berbuat semanis itu.

Na merespon perkataan Fikran dengan menggeleng, sebab Na memang gak tau apa apa. Bisa jadi belum dan bisa jadi sudah.

"Mana ada yang mau sama mantan napi." lanjut Fikran.

"Hmm kakak tinggal sama siapa?"

"Bude."

"Bude?"

"Waktu aku di penjara, tiba-tiba ada yang pengen ketemu sama aku, sempat mengira kamu. Tapi ternyata seseorang yang mengaku adik dari ibuku. Aku bersyukur saat itu, kukira gak akan ada yang nengokin aku." ungkap Fikran.

"Maaf."

"Untuk?"

"Gak pernah nengokin kamu."

"Ya bagus juga."

"Lho kok?" Na menyatukan alisnya, menunjukkan keheranan dan perlawanan.

"Bagus." Fikran hanya mengulang pernyataannya.

"Kenapa?"

"Akan lebih sulit buat aku menjalani hari-hariku. Aku pasti berharap, jadi emang lebih baik begitu." jelas Fikran.

Satu hal yang Na sadari, selain perubahan fisik, Fikran juga jadi semakin dewasa dan bijak.

Fikran memang orang yang mahir menyusun kata dari dulu. Anti pemborosan kata. Tapi sekarang penuturannya semakin baik dan juga enak didengar, bagi Na.

"Na gimana?" tanya Fikran.

"Apanya?" jawab Na kikuk.

"Kesibukan kamu sekarang."

"Aku kerja di perfilman, Aku tersesat ke daerah sini gara gara habis dari lokasi shooting." jelas Na.

"Kenapa sendiri?"

"Karena gak berdua." jawab Na sekenanya.

Na tidak mau memberitahu detail kenapa ia bisa tersesat. Na gak mau menghancurkan momen yang bisa disebut reuni ini.

"Ibu gimana kabarnya?" Fikran mengalihkan topik, sadar perempuan di sebelahnya tampak tidak terlalu nyaman dengan topik sebelumnya.

"Baik. Ibu sekarang lagi seneng ikut ikut zumba, menjaga tubuh katanya biar ayah makin bucin."

"Syukurlah."

"Anyway ini bude kamu kemana?"

"Bude lagi nginep di rumah anaknya yang mau lahiran." jawab Fikran.

"Berarti, sepupu kamu?"

"Iya."

"Aku ikut senang sekarang kamu gak sendirian." ungkap Na.

"Aku gak pernah sendirian."

"Gimana?"

"Begitu kamu pergi, ada bude yang datang. Jadi aku gak pernah sendirian."

Terdengar seperti Na adalah keluarganya juga, dulu.

Perasaan bersalah hinggap lagi di hati Na.

"Aku rindu kamu." Kalimat yang Na tahan sejak tadi, akhirnya keluar juga.

Fikran kaget, terpaku lebih dari 2 menit.

"Jangan mengacau, Na."

____________Bersambung___________
Vote bisa dong.

Hahadulu, 11 Agustus 2021.

SoulhateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang