Hangat

2.6K 48 0
                                    

I'm back.

17+

Kak Fikran dan aku memutuskan untuk berkeliling kota setelah 30 menit di angkringan Bude Nur. Aku sangat ingin diajaknya berkeliling naik motornya, sebab aku ingin mengenang masa SMA kami. Tapi Kak Fikran melarang. Katanya "Tadi sempat gerimis, takut nanti turun hujan, Na."

Jadilah kami berdua pada akhirnya berada di mobilku, tapi Kak Fikran yang nyetir.

Jujur, dia juga keren saat memegang stir mobil, tapi rasanya seperti melihat seorang Fikran yang berbeda. Soalnya aku terbiasa melihat dia mengendarai motor besar yang tangki bensinnya ada di depan. Fikran si tukang gelut.

Fikran yang ada di sampingku sekarang sungguh dewasa dan terlihat sangat terkendali.

Kak Fikran mengenakan kaos polo warna army yang pas sekali dengan tubuh dan warna kulitnya. Rambutnya yang gondrong itu diikat. Bawahannya dia mengenakan celana kain nonformal berwarna coklat tua.

"Gak mau jajan?"

Aku refleks menggeleng. Karena memang aku betulan gak mau. Aku mau dia. Memandangnya saja membuatku kenyang. Ya, selain karena perutku sudah terisi juga tadi.

"Kenapa lihat aku terus, Na? Ada yang aneh?" tanya dia sambil memutar stir karena kami sedang mengelilingi bundaran.

"Nggak, kamu ganteng." Dia tersenyum tipis. Barangkali yang masih sama seperti masa SMA itu senyumannya.

Dia tak menanggapi ucapanku, lalu tak lama dia meminggirkan mobil lalu berhenti.

Dia memandangiku.

"Kenapa?" tanyaku heran. Kan aku jadi malu.

"Gapapa, cantik." katanya.

Aku mana bisa jaim di depannya, aku sudah tersenyum lebar mendengar kalimatnya.

"Terus kalau lihat-lihatan begini gak jalan dong mobilnya?" ucapku.

"Kita perlu cari tempat menginap terdekat." simpulnya.

Nampaknya bukan cuma aku yang menginginkan dia, tapi kami saling menginginkan.

"Aku belum izin untuk nginap."

"Kalau begitu telepon Ibumu, biar aku yang bicara."

Gila!

Apa yang mau dikatakannya? Bahwa kami akan tidur bersama? Sedangkan aku sudah punya pacar bahkan sudah dilamar.

Dalam hal ini, Kak Fikran masih sama seperti dulu. Riskan.

"Gak usah, biar aku chat aja."

Kak Fikran mengangguk. Tentunya aku izin menginap dengan alasan lain. Bohong. Ya, sampah ini sudah mulai rajin berbohong.

Lalu tak lama kami tiba di sebuah penginapan yang terkenal, karena sering dikunjungi mahasiswa atau mahasiswi mesum karena dirasa biayanya pas dengan kantongnya. Penginapan dengan nama 3 huruf.
Aku tidak protes dan tidak peduli karena kami mencari penginapan terdekat.

Kami check-in, Kak Fikran yang mengurus, aku hanya duduk saja di kursi tunggu sambil melihat sepasang kekasih yang terlihat sangat muda sedang berdebat, kutebak usianya masih belasan. Teringat kami saat SMA.

Kak Fikran menghampiriku, menggamit tanganku lalu berjalan ke kamar yang sudah dibooking sambil berpegangan tangan seperti anak TK.

Setibanya di kamar, kami duduk bersila di atas ranjang berhadap-hadapan, seperti seorang guru dan murid yang sedang transfer ilmu bela diri di film aksi klasik yang pernah kutonton.

Lalu dia sekonyong-konyong mengangkat tubuhku untuk duduk di pangkuannya.

"Na kamu makan apa?" tanya dia yang membuatku heran.

"Aku masih makan makanan manusia." jawabku sekenanya.

"Kenapa kamu sudah dewasa saja."

Aku mengerti, seperti halnya aku. Kak Fikran juga tidak menyangka aku sudah tumbuh dewasa dari terakhir kali bertemu. Tentu saja, saat itu aku masih kelas dua SMA.

"Karena aku bukan anak kelas dua SMA lagi."

"Betul." Setelah itu dia mencumbuku.

Kami berciuman lama. Dari hanya menggunakan bibir sampai menghadirkan lidah untuk menambah asyiknya kegiatan kami.

Aku melepas kuncirnya. Membiarkan rambutnya bebas lalu menyelipkan helaian yang menghalangi wajahnya ke belakang telinga.

"Kamu mirip River Phoenix." Dia tau siapa River Phoenix, kakaknya Joaquin Phoenix--pemeran Joker. Kita pernah dua kali menonton filmnya dulu. Dan dia tau aku menyukai River Phoenix dan juga menyukainya.

"Oh jadi itu alasannya kamu lihat aku terus." ucapnya sedikit bernada kecewa.

"Nggak nggak, you're amazing just the way you are. Tapi kalau lagi begini mirip aja." Aku lalu mencium pipinya.

"OK, do you mind if this River Phoenix want to fuck you?" katanya.

"No, please, fuck me, Sir."

Kami terkekeh lalu kami kembali bercumbu, saling melepas pakaian berujung pada saling menggesek alat kelamin kami.

Kak Fikran membaringkanku, melahap semua areola payudaraku, menghisapnya sambil jarinya menggosok klitorisku dan tentunya aku cum. Dia sudah tau dari dulu kalau gosokan di titik itu adalah kelemahanku.

Secara spontan aku menggenggam penis, yang mungkin lebih besar dari pergelangan tanganku yang kecil lalu mengurutnya perlahan.

"Shh Na, naik." perintahnya.

Dia ingin woman on top.

Perlahan aku menenggelamkannya, rasanya penuh sekali.

"Owhh ahh."  aku bergerak.

Namun mungkin Kak Fikran gemas sendiri dengan gerakanku yang konsisten lalu dia membantu dari bawah. Bukan membantu, dia menyiksaku. Sebab gerakannya cepat sekali dan kadang tidak beraturan tapi saat aku mendekati puncakku gerakannya otomatis menjadi lebih pelan.

Dia mengganti posisi dengan aku yang dibawahnya.

"Tunggu, Na. Aku ingin kita bersama." pintanya.

Aku tidak mengerti ucapannya. Kita sudah bersama sekarang. Apa maksudnya?

Lalu aku pun mengerti di akhir. Saat dia menumpahkan cairannya di dalamku. Bersamaan denganku.

Rasanya aneh, karena ini pertama kalinya dia berlaku begitu.

Rasanya hangat bahkan hatiku juga.
Rasanya malu dan aku merasa dekat sekali dengannya, sangat dekat sampai tidak ada penghalang apapun, ya meski secara fisik kami sudah begitu. Tapi selain itu, mungkin ini karena cairan kami yang bercampur di dalam sana. Menjadi satu.

Aku tidak ingin protes karena aku juga menikmatinya dan kurasa aku sedang aman.

Aku tidak ingin protes karena aku juga menikmatinya dan kurasa aku sedang aman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________Bersambung_____________

Votenya lho yak!!!

17 Oktober 2021

SoulhateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang