1. Berakhir

2.3K 199 9
                                    

Syl memejamkan mata menghalau tangis yang sudah turun sejak tadi. Air matanya belum berhenti sejak perdebatannya dengan Indra beberapa menit yang lalu.

"Kamu nggak capek mas? Aku aja capek loh," katanya dengan suara yang lemas. Ia terduduk diatas lantai yang dingin sementara Indra berdiri diluar kamar dengan pintu yang terbuka.

Perdebatan mereka selalu berakhir sama, tanpa penyelesaian sama sekali.

"Syl, aku udah bilang kan buat sabar."

"Sabar? Aku masih juga kurang sabar buat kamu?" Ia sungguh sudah lelah berteriak, marah-marah karena nggak ada gunanya lagi. Kesabarannya sudah habis dan Syl nggak mau menunggu lagi.

"Syl."

"Enam tahun mas, Enam tahun. Masih belum cukup?" Tanyanya lagi dengan nada putus asa. Mereka sudah pacaran sejak Syl masih duduk dibangku perkuliahan hingga kini dia berusia dua puluh enam tahun. "Aku nggak maksa kita nikah secepatnya, kamu tau itu."

"Syl, Mama mau aku ngejar karirku dulu, ini juga buat kamu juga, buat kita di masa depan."

Syl sudah lelah mendengar alasan klasik semacam itu, ia mengusap air matanya dan berusaha beranjak dari lantai. Ia sudah sangat lelah dengan hubungan tak berujung ini.

"Ya... Kejar aja karir kamu, aku juga bakal pilih jalanku sendiri." Ia menyambar tas yang sejak tadi tergeletak diatas ranjang dan menyambar beberapa lembar tissue untuk mengelap wajah basahnya.

"Sylviana!"

"Nggak usah sebut namaku lagi, Mas!" Seru Syl marah, "Kita udah enam tahun putus nyambung karena ketidak pastian kamu. Aku nggak minta kamu nikahin besok, tapi cuma mau yakin kalau memang kita punya masa depan bersama, tapi nyatanya? Kayanya emang kita nggak bisa bareng-bareng lagi deh. Kamu selalu nurutin apa yang mama kamu mau, sementara aku? Aku nggak pernah jadi prioritas dalam hidupmu, kamu nggak pernah mikirin aku, kamu nggak pernah mikirin perasaanku, kamu cuma nurutin apa yang mama kamu suruh, sementara dia nggak akan pernah suka sama aku karena aku bukan Gina."

Pada akhirnya Syl menumpahkan segalanya di hari terakhir mereka bersama. Ia tidak menyangka hari ini akan datang juga. Sepanjang hubungan mereka, Syl nggak pernah sekalipun membasah kecemburuannya pada sahabat perempuan Indra yang selalu ada di daftar prioritas dengan alasan 'Gina disini sendiri, dia cuma punya aku.' Bullshit!

"Kenapa kamu jadi bawa-bawa Gina?!" Tanya Indra dengan sedikit menaikkan nada suaranya.

"Perlu aku jabarin satu-satu?" Tanya Syl menantang, persetan! Hubungan mereka sudah tidak bisa lagi diselamatkan. Ia ingin menaruh semua kekesalannya disini, hari ini dan pada Indra langsung. Agar laki-laki itu membuka mata atas kesakitan yang secara nggak sadar di berikan pada Syl.

"Ke kondangan Dimas, kamu batalin janji sama aku dan pergi sama Gina dengan alasan Mama kamu yang maksa karena Gina nggak ada temen sementara aku cuma nemenin kamu karena nggak kenal Dimas."

"Tapi kamu bilang waktu itu nggak papa."

"Mas, kamu bodoh atau gimana sih?" Tanya Syl tak habis pikir, "Kamu yakin aku bakal beneran nggak papa? Saat kamu batalin lima menit sebelum kita janjian? Kamu pikir aku masih goleran dikasur dan belum siap-siap sama sekali?" Syl tertawa miris saat waktu itu Indra percaya begitu saja. Ia kira Indra akan memaksa menjemput walaupun mereka harus datang bertiga, tapi kenyataannya? Memang yah, jangan pernah berharap sama manusia.

"Syl..."

"Kamu lagi nonton sama aku, dan Mama kamu telfon supaya cepet pulang karena Gina dateng. Kamu pikir aku baik-baik aja? Apa kata lain selain goblok buat kamu? Nggak ada, Mas... Nggak ada." Syl menggeleng miris. "Atau bukan kamu goblok, tapi aku. Aku yang goblok karena mau aja buang-buang waktu sama hubungan nggak jelas ini."

"Sylvi, dengerin aku." Kedua tangan Indra menyentuh bahu Syl, dia cukup terpukul saat tau Syl akhirnya menyerah secepat ini. Indra kira Syl akan menerima semuanya dengan lapang dada, tapi batas sabar perempuan ini sudah setipis kertas.

"Aku minta maaf, aku beneran minta maaf untuk semuanya. Aku beneran nggak tau..."

"Maafin kamu tuh urusan aku sama Tuhan, Mas!" Seru Syl seraya menyingkirkan kedua tangan Indra dengan kasar. "Urusanku sama kamu selesai sampai disini, aku nggak mau lagi bertahan dan buang-buang waktu lebih banyak demi ngarepin kamu. Harusnya aku dengerin Bang Bagas buat lepasin kamu waktu itu."

Indra menelan saliva saat melihat Syl akhirnya keluar dari apartemen. Dentuman pintu mengiringi jantungnya terasa lepas dari tempatnya.

Mendengar semua penjelasan Syl, kesalahan demi kesalahan berputar bagai kaset rusak di kepalanya. Semua salahnya.

Syl benar, Indra cuma laki-laki goblok yang nggak bisa ngerti perasaan pacarnya sendiri.

Saat Indra terlalu percaya diri menjadi orang yang paling mengerti Syl, dia justru menjadi orang yang paling nggak mengenali Syl sama sekali. Padahal mereka enam tahun sudah bersama.

Indra terduduk disofa mengabaikan dering ponsel yang sejak tadi dia abaikan. Biarkan kali ini Indra merenungi kesalahannya. Biarkan dia mengambil keputusan untuk melangkah setelah Syl tak mau lagi menunggunya yang telah tertinggal jauh.

Ponselnya berhenti berdering, tapi tak sampai lima detik benda itu kembali berdering.

Ia melirik benda itu dan melihat nama ibunya.

"Kenapa sih bu!" Seru Indra tanpa sadar.

"Kamu kenapa? Ibu telfon dari tadi tapi kamu nggak angkat-angkat," omel perempuan paro baya diseberang sana, "kenapa belum juga pulang, katanya malam ini mau pulang?"

"Indra malam ini nggak pulang, nanti kalau libur aja."

"Ini Gina udah di rumah, masa nggak pulang." Bahkan omongan Syl masih terngiang di telinganya, tapi hal ini kembali terjadi.

"Biasanya juga ke rumah, nggak perlu ada Indra kan?"

"Tapi dia nyariin kamu!"

"Dia tau kalau Indra udah tinggal sendiri, harusnya dia kesini aja."

"Indra!"

"Indra pulang sekarang."

Benar apa kata Syl, Indra cuma kali-laki goblok yang nggak bisa di harapkan.

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang