Syl mengusap air matanya seiring dengan langkah yang meninggalkan apartemen kekasihnya. Lebih tepatnya mantan kekasihnya.
Indra sudah benar-benar keterlaluan dan Syl tidak mampu lagi membendung amarahnya. Hubungan mereka memang sudah tak bisa lagi di selamatkan.
"Sakit banget, Bang..." Ujar Syl seraya menatap laki-laki yang ada di hadapannya.
"Sekarang emang sakit, tapi gue yakin nggak akan lama." Arga menarik Syl dalam pelukannya. Perempuan ini adalah perempuan dulu pernah Arga suka, sejak pertama kali Arga melihat perempuan itu di rumah sahabatnya dan memperkenalkan diri sebagai adik Bagas, sahabatnya.
Tadi Bagas menelfonnya dan tumben sekali minta tolong untuk menjemput Syl. Arga sejak tadi mencoba menghubungi Syl lewat nomor yang Bagas berikan, tapi tak ada jawaban hingga mereka tanpa sengaja bertemu di lobby gedung apartemen.
Sedikit banyak, Arga mengetahui konflik percintaan Syl sejak lama dari Bagas. Dan sepertinya malam ini puncaknya.
"Yuk balik, gue antar," ajak Arga membimbing Syl untuk masuk kedalam mobil yang terparkir tak jauh dari lobby. Parkiran khusus tamu.
Arga melirik Syl yang masih menangis tanpa suara. Ia tak tega melihatnya, tapi Arga juga nggak mampu menenangkannya, apalagi memberikan nasihat-nasihat. Yang Syl butuhkan cuma waktu untuk menyembuhkan sakitnya sendiri.
"Nggak mau balik ke rumah, Bang."
Arga menoleh ke arah Syl singkat, "Trus mau balik kemana?"
"Anter gue ke hotel aja, gue nggak siap ketemu ibu."
"Jangan sendirian dalam kondisi kaya gini, pulang... Kalau ibu tanya lo bilang aja kalau lo belum siap cerita atau lagi punya masalah sendiri." Arga jelas nggak mungkin mengantarkan Syl ke hotel. Kondisi Syl memang kelihatan normal, cuma nangis doang. Tapi nggak ada yang tau isi kepalanya seruwet apa.
"Gue nggak siap ngecewain ibu, Bang."
Sejak setahun belakangan Syl paham jika Ibunya jadi kurang menyukai Indra karena pria itu tak kunjung mewujudkan niat baiknya untuk meminang si bungsu yang sudah cukup umur. Apalagi mereka sudah cukup lama berhubungan, bukan cuma setahun dua tahun.
"Malam ini atau besok ibu bakal tetap tau apapun masalah lo sekarang. Malam ini ataupun besok lo akan tetap ngecewain ibu, Syl..."
Perempuan itu mengusap pipinya yang basah, ucapan Arga benar, Syl bahkan nggak mampu membantah lagi.
"Ya udah, pulang aja."
***
Semalam ibu nggak mengatakan apapun saat melihat si bungsu pulang dengan kondisi berantakan, mata bengkak dan memeluknya sambil menangis sebentar.
Pagi ini Syl turun dengan kondisi yang sama berantakannya.
"Nggak nyenyak tidurnya?" Tanya Ibu yang sudah selesai memasak menu sarapan sederhana untuk mereka berdua.
"Iya bu, mau susu hangat aja."
"Ibu bikinin, minum air putih dulu."
Syl meneguk air putih dalam gelas yang sudah disiapkan ibunya. Perempuan paro baya itu sudah berusia enam puluhan tahun dan sudah menjanda sejak lima tahun yang lalu. Ayah Syl meninggal karena sakit saat ia baru mulai menapaki karir, belum sempat memberikan sedikit kebahagiaan untuk mendiang.
"Makasih, Bu," ujar Syl yang melihat ibunya menyuguhkan satu gelas susu coklat panas.
"Syl nggak mau cerita?"
"Nanti, Bu... Kita makan dulu."
Syl menyingkirkan susu yang sudah ia habiskan setengah dan mengambil sedikit nasi dan lauk yang sudah susah payah ibunya masak di pagi hari. Sejak ayah meninggal karena penyakit lambung, sang Ibu tidak pernah lagi membiarkan anak-anaknya absen sarapan.
Bahkan Bagas yang sudah menikah dan tinggal di rumah terpisah pun masih kerap ibu ingatkan untuk selalu menjaga kesehatan dan diusahakan untuk makan tepat waktu.
Setelah makan, gantian Syl yang berkutat didapur, membereskan dapur, mencuci piring dan peralatan dapur bekas masak.
Sang ibu masih menunggu, ia sudah menebak permasalahan si bungsu, tapi ingin mendengar sendiri dari mulut Syl.
"Ibu nggak mau pergi belanja? Kayanya bahan makanan di kulkas tinggak dikit."
"Ibu mau denger cerita kamu dulu, habis itu anterin ibu belanja."
Syl kira dia akan terbebas semudah itu, tapi ternyata enggak.
"Nanti keburu siang, sayuran segar di pasar cepet habis, Bu." Ia masih berusaha mencari celah agar sang ibu melepaskannya barang sebentar.
"Kita belanja di supermarket, sambil jalan-jalan nanti." sepertinya memang sudah saatnya Syl cerita. Ibu sama sekali nggak memberinya celah untuk berpikir sejenak.
Memangnya ada yang harus di pikiran lagi? Enggak. Nyatanya hubungan Syl dengan Indra telah kandas, dan cepat atau lambat ibu harus tau.
"Ibu jangan marah ya?" pinta Syl sebelum mengatakan yang sejujurnya, "Syl sama Indra putus semalam."
Ibu mengehela nafas berkali-kali, ia sudah menebak ini sebelumnya. Tapi mendengarkannya sendiri keluar dadi mulut si bungsu membuatnya nelangsa. Enam tahun bukan waktu yang sebentar, dan hubungan mereka kandas dengan sia-sia.
"Maafin Syl karena nggak pernah dengerin ibu." Ia cuma bisa menunduk dan minta maaf dari hati yang paling dalam.
Mereka pernah bertengkar karena Ibu merasa Indra yang cuma main-main dengan hubungan yang mereka jalani, sementara Syl merasa sebaliknya. Cinta memang membutakan segalanya.
Terlepas memang Indra yang cuma main-main atau enggak seperti ucapan ibu, yang bisa perempuan itu lakukan cuma minta maaf dan menyesali segala perbuatan bodohnya.
"Ya udah, Syl jangan sedih lagi. Ibu nggak tega lihat kamu diantar Arga dengan kondisi berantakan kaya gitu. Hubungan kalian bisa di jadikan pelajaran, dan Ibu nggak mau lihat kamu sedih-sedih lagi."
Syl mengangguk pelan.
"Abang udah tau?" tanya Ibu.
Syl menatap ibunya sejenak sebelum menggeleng kecil, "Kalau bang Arga nggak cerita, kayanya belum."
"Ibu nggak bisa bayangin kalau abangmu tau."
Syl tiba-tiba ingat kejadian delapan tahun silam, saat ia diantar pulang oleh kakak tingkatnya semasa kuliah.
"Semoga bang Bagas nggak tiba-tiba jadi gila deh," gumam Syl seraya menyesap susu coklatnya yang sudah agak dingin.
"Ibu malah lebih setuju kalau abangmu kasih satu atau dua pukulan supaya mantanmu itu sadar."
Syl mengerang kecil mendengar komentar ibunya.
"Bu, jangan gitu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPINESS
Romance"Gue harusnya lamar Syl begitu gue yakin kami bersama, bukannya dengerin Ibu untuk ngejar karir dulu, bukannya mentingin lo diatas kebersamaan kami. Atau gue harusnya berjuang begitu malam itu dia minta putus, bukannya ngurusin kerjaan yang nggak ak...