4. Perjodohan

912 162 8
                                    

"Arga tuh, masih jomblo. Nggak minat sama  dia?" Setelah makan malam, Bagas mengajak Ineke dan Selby -bayi kecil mereka- menginap di rumah Ibu.

"Gue baru putus kemaren, dan lo nyodorin sahabat lo buat gue?" Tanya Syl nggak percaya. Mereka memang sempat minum Wine tadi, tapi kayanya segelas wine nggak cukup bikin Bagas mabuk hingga melantur seperti ini.

"Lah, emang kenapa? Lo emangnya mau galau berapa lama? Dia bahkan mungkin baik-baik aja setelah kalian putus."

Syl menghela nafas pelan. Yang paling bahagia atas kandasnya hubungannya dengan Indra mungkin adalah Gina, perempuan yang Indra sebut sahabat baiknya. Mungkin juga ibunya Indra yang sepertinya merestui hubungan mereka tapi kadang menunjukkan gelagat tak suka pada kehadiran Syl di setiap kesempatan.

Syl sejujurnya nggak mau berburuk sangka,  tapi mau bagaimana lagi. Otaknya tanpa komando memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu.

"Biarin gue tenang dulu lah, Bang."

"Jangan kelamaan, Ibu udah khawatir sama lo beberapa bulan ini. Ditambah lagi sekarang lo putus sama Indra, pasti bikin dia tambah kepikiran," nasihat Bagas memang nggak ada salahnya, laki-laki itu juga mengatakannya dengan santai, tapi kenapa Syl malah tertekan?

"Harus bang Arga banget?"

"Cobain aja sama dia, nanti gue ngomong ke Arga."

"Emangnya dia nggak punya cewek?"

"Putus tahun lalu, setahu gue sih belum pacaran lagi."

"Kalau nggak cocok, jangan paksa gue ya?"

"Gue yakin kalian cocok."

***

Tumben sekali Bagas main ke apartemennya saat sedang libur seperti ini, biasanya Bagas akan menghabiskan banyak waktu dengan keluarga kecilnya.

"Masuk, gue lagi beres-beres."

Arga baru selesai olahraga di lantai bawah dan sedang membereskan apartemennya yang sudah cukup berantakan. Dengan hanya bertelanjang dada dan keringat yang belum terlalu kering ia berkeliaran di dalam  apartemen, mengambil sekaleng soda untuk Bagas yang bertamu secara mendadak.

"Tumben lo, anak bini kemana?"

"Girls time, lagi jalan sama nyokap sama Syl."

"Trus lo kesini?"

"Gue habis ngobrol sama Syl semalam."

Arga mengelap badannya dengan handuk seadanya dan duduk di sofa berbentuk huruf L yang ada di ruang tamu.

"Trus?"

"Gue mau jodohin kalian." Spontan Arga terbatuk mendengarnya. Ia sama sekali nggak berekspektasi akan hal ini. Menjodohkan? apa Bagas nggak alah menjodohkan adik kesayangannya dengan dirinya yang... bukan siapa-siapa.

"Lo... Nggak salah?"

"Enggak lah, Syl setuju kok."

Arga nggak yakin akan hal ini, tapi wajah Bagas kelihatan serius sekali hingga melunturkan keraguannya. Tapi kenapa dirinya?

"Gue tau lo pernah suka sama Syl dulu."

Arga nggak mengelak akan hal itu, bahkan ketika Arga telah berpacaran dengan seorang wanita, ia masih kerap kepo akan kehidupan Syl. Bagas sering sekali menceritakan tentang Syl hingga Arga harus cukup puas mendengar pertumbuhan gadis itu hanya lewat cerita Bagas.

Tapi selama ini Arga sama sekali nggak memimpikan memiliki Syl dalam hidupnya. Perempuan itu berhak mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik, bukan seperti dirinya yang bahkan orang tua saja nggak punya.

"Gue emang pernah suka, tapi nggak pernah mimpi buat dapetin dia."

"Nah, sekarang lo nggak perlu mimpi, lo bisa langsung coba deketin dia, dan lo langsung dapet restu dari gue."

"Bukan masalah itu, Gas."

"Trus masalahnya dimana? Syl emang nggak secantik mantan cewek lo, tapi nggak malu-maluin lah kalau diajak kondangan atau ketemu client."

Arga sempat ingin protes pada Bagas. Kalau Syl nggak cantik, perempuan yang menurut Arga biasa aja tuh disebut apa?

Syl itu punya kulit putih yang mulus, rambutnya bergelombang, punya bisnis sendiri dan kelihatannya lumayan menjanjikan walaupun baru merintis dua tahun belakangan, pendidikannya nggak perlu di ragukan lagi, dan keluarganya... Udah lah, pokoknya Arga nggak ada apa-apanya.

"Lo yakin dia mau sama gue?" Tanya Arga sekali lagi.

"Dia mau nyoba, kalau kalian nggak cocok, gue nggak maksa deh, gue janji."

Arga nggak mengiyakan ataupun menolak untuk saat ini. Ia perlu berpikir sejenak apakah jalan ini benar atau tidak. Tapi kalau nggak dicoba, ia juga penasaran karena Syl sendiri sudah memberikan lampu hijau.

Ah, Arga jadi dilema sendiri.

***

Setelah satu minggu berpisah, Indra baru berani kembali menginjakkan kaki di tempat ini. Bakery yang di kelola Syl dua tahun belakangan cukup ramai, dan sebagian kue di etalase sudah kosong.

Aroma manis langsung menyambut penciumannya begitu memasuki pintu kaca.

"Mas Indra mau ketemu mbak Sylvi?" Tanya seorang karyawan Syl yang mengenali Indra sebagai kekasih bosnya.

"Ada?"

"Ada mas, langsung masuk ke ruangan aja, kaya nggak biasanya."

Kabar mengenai putusnya hubungan Indra dan Syl sepertinya belum sampai ke karyawan perempuan itu. Buktinya masih ada yang menyapanya dengan ramah.

Dengan ragu ia mengetuk sebuah pintu berbahan dasar kayu, pintu ini salah satu hasil perburuan Syl dan Indra pada toko meubel sederhana di pinggiran kota.

"Masuk." Pada akhirnya Indra kembali mendengar suara itu lagi.

Sejak Syl meninggalkannya malam itu, Indra berulang kali mencoba menghubunginya, tapi hasilnya jelas hanya kesia-siaan. Sepertinya nomor miliknya telah di bokir.

Kenop pintu ditekan dan pintu terbuka. Ruangan Syl nggak begitu besar, hanya ada satu lemari yang menutup dinding, meja kerja dan dua kursi yang ada diseberang Syl duduk.

Ruangan sengaja dibuat kecil agar ruang untuk toko jadi lebih luas, sehingga beberapa meja bisa ditaruh untuk pengujung yang ingin makan ditempat.

"Ngapain kamu kesini?" Indra sudah mempersiapkan diri untuk sebuah penolakan. Tapi hatinya tetap patah mendengarnya langsung dari Syl.

Mereka sudah cukup lama bersama, menjalani kisah cinta yang memang banyak perdebatan, namun akhirnya kembali bersama lagi karena salah satu yang akhirnya mengalah.

Syl juga bukan tipe perempuan yang malu mengakui kesalahannya sendiri, hingga Indra selalu betah bersamanya selama bertahun-tahun.

"Aku cuma..." Sejujurnya Indra nggak tau kenapa ia menemui Syl.

"Kalau nggak penting-penting banget, mending kamu pergi." Usiran itu membuat hatinya hancur berkeping-keping.

"Syl... Maafin aku," pada akhirnya Indra mengaku kalah, semua salahnya. Syl yang bersikap seperti ini adalah hasil perbuatannya di masa lalu.

"Aku benar-benar minta maaf, Syl."

HAPPINESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang