Meja yang berukuran panjang itu berisi banyak sekali makanan. Dari penampilannya sungguh sangat menggoda, namun ketika di cicipi.
"Ck, gak di kasih micin apa ya?" Batin Liozora
"Rasanya kayak makanan rumah sakit. Masa gak ada micin? Atau gak rocyo deh, penyedap rasa gitu..."
Melihat makan-makanan di komik kerajaan sepertinya sangat enak, apalagi bagian steak daging. Tapi saat Liozora mencicipinya, rasanya sangat biasa. Apakah semua makanan ini hanya di beri bumbu seperti garam dan gula saja?
Dan lihatlah kedua manusia di depannya. Saling suap-suapan, tak menghiraukan keberadaan Liozora sama sekali. Apa mereka pikir Liozora akan cemburu?
Mungkin Liozora yang dulu akan cemburu melihat suaminya bermesraan dengan istri keduanya. Namun Liozora yang sekarang berbeda. Ia tidak sudi menjadi lemah dan cemburu dengan pria stres seperti William.
"Ah, kakak maaf jika anda merasa kesepian."
Tiba-tiba saja Marsa berbicara seolah sedih dengan Liozora yang diam saja sejak tadi. Wajah Marsa tampak sangat sedih dan Liozora tahu wajah itu penuh kepalsuan. Yang sebenarnya adalah Marsa sedang mengejeknya karena William lebih memilih bermesraan dengannya.
"Aku tidak merasa begitu," jawab Liozora dengan tenang.
Marsa tampak tidak suka dengan jawaban Liozora. Apalagi ekspresi wajahnya yang tampak tidak terganggu sama sekali dengan keromantisan William dan dirinya di meja makan.
"Count, anda seharusnya lebih memperhatikan kakak..." Katanya dengan mata sayu dan bibir melengkung kebawah.
Liozora menatapnya dengan heran. "Ngapain sih..."
"Marsa, jangan berekspresi sedih seperti itu. Aku ikut sedih..." William memeluk erat Marsa, seperti induk ayam yang menjaga anak-anaknya.
"T-tapi kakak jadi sedih karena Count lebih memperhatikan saya..."
"Siapa yang sedih Anj!!!" Teriak Liozora dalam hati.
"Aku tidak sedih, untuk apa juga aku bersedih?" Jawab Liozora.
"Liozora! Pelan kan suaramu, Marsa ketakutan." Bentak William kepada Liozora.
Liozora membuang nafas kasar. Ia meremas gaun nya sebagai pelampiasan rasa emosi.
"Count, jangan marahi kakak. Saya yang salah..." Marsa kembali bersuara lemah, di tambah air mata yang tiba-tiba menetes.
"Tidak, Marsa! Jangan menangis, kau tidak salah sama sekali."
Liozora memutar bola matanya melihat kelebayan pasangan stress itu.
"Marsa, aku tidak sedih jadi jangan khawatir kepada ku." Liozora sengaja bersuara lembut dan tersenyum manis kepada Marsa.
"Ah, iya kakak. Saya tidak akan khawatir lagi..." Kata Marsa penuh senyuman palsu.
William yang mendengar suara lembut Liozora langsung menatap sinis kearahnya.
"Apa kau sedang mencoba merayuku dengan suara lemah lembut mu?" Tuduh William.
Liozora menggeleng. "Tidak, anda sendiri kan yang mengatakan suara saya harus di pelankan karena khawatir marsa ketakutan?"
William enggan mengakui.
"Kau mencoba merayuku dengan wajah mu dan suaramu, tapi aku sama sekali tidak akan tergoda. Ingat itu!"
"Dih, pede sekali."
"Aku tahu aku tampan dan kaya. Bahkan aku tahu kau cemburu dengan Marsa yang lebih aku sayang. Iya, kan? Kau juga mencoba menyingkirkan Marsa agar kau bisa mendapatkan hatiku sepenuhnya kan? Ayolah jujur saja..." ujar William, percaya diri.
Marsa pun tersenyum miring mendengar ucapan William. Marsa sangat senang jika Liozora terintimidasi seperti itu.
Liozora tidak habis pikir. Bagaimana bisa ada orang yang tingkat kepedean nya setinggi jambul khatulistiwa milik Syahrini. Terlebih, apa yang diucapkan nya itu salah semua.
"Anda benar-benar luar biasa," kata Liozora.
William merasa bangga karena tebakannya selama ini benar. Dia merasa menjadi orang yang pintar karena mengetahui isi hati Liozora.
"Tingkat kepedean anda patut di acungi jari tengah," lanjut Liozora, memberikan jari tengah di hadapan William.
William dan Marsa melongo melihat tindakan Liozora barusan. Benar-benar berbeda dengan Liozora sebelum keracunan.
Liozora segera bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan ruang makan itu. Tak peduli dengan William yang akan segera mengamuk.
"LIOZORA!" teriak William marah.
***
"Jubaidah, apakah sebaiknya aku bercerai saja dengan Count?"
Juvida memicingkan matanya ketika Liozora salah memanggil namanya.
"Nyonya, nama saya Juvida..."
"Ah... iya-iya. Bagaimana pendapat mu, apa aku harus bercerai?"
Juvida menggeleng pelan. "Jika anda bercerai maka anda tidak mendapatkan tempat tinggal lagi. Anda tidak memiliki keluarga..."
"Hah? Aku tidak punya keluarga?"
Juvida mengangguk. "Iya, saat anda berumur 6 tahun ayah dan ibu anda meninggal karena kecelakaan. Setelah itu anda dikirim ke rumah ini untuk menjadi istri Count William."
Liozora tampak sedih mendengar ia tidak memiliki keluarga lagi. Juvida adalah satu-satunya orang yang mengetahui jika ia hilang ingatan. Tidak mungkin juga Liozora mengatakan bahwa ia berasal dari dunia lain.
"Hm, begitu ya."
"Iya, Nyonya. Kehidupan di luar sangat keras, banyak pembunuh. Tempat ini adalah tempat yang aman untuk anda." Juvida tersenyum hangat kepada Liozora.
"Tapi aku benci William dan Marsa..."
"Dulu anda sangat mencintai Tuan. Namun sepertinya anda sudah tidak mencintai tuan lagi. Apa anda sudah menyerah?" Tanya Juvida.
Liozora menggeleng. "Aku bukan menyerah. Tapi aku memang tidak ingin bersaing dengan siapapun. Aku hanya ingin hidup dengan tenang tanpa gangguan orang lain. Aku tidak peduli dengan hubungan William dan Marsa. Sama sekali tidak peduli!"
Juvida mengangguk paham. "Nyonya, anda harus bersabar. Saya harap Nyonya selalu di berikan kebahagiaan oleh dewa."
Liozora tersenyum. Sepertinya hanya Juvida lah yang mengerti perasaannya.
"Terimakasih. Ah, aku akan tidur. Tolong jangan ganggu aku, siapapun itu."
"Baik, Nyonya. Kalau begitu saya permisi. Tidurlah dengan nyenyak Nyonya, saya akan berjaga diluar..."
Liozora mengangguk kecil dan segera membaringkan tubuhnya ke kasur empuk miliknya.
.
.
Seeyanextchapter.
Yuk komen biar aku semangat dan cepet up
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Souls: Transmigrasi
Teen Fiction"Ribet amat di zaman ini. Biasanya aku mandi dua hari sekali, kadang lebih..." Gumam nya. Tok Tok "Nyonya, tolong buka pintunya!" Teriak pelayan itu. "Berisik! diam kau Jubaidah, jangan ganggu aku!" Balas Liozora tak kalah keras. "Nyonya, nama sa...