21

2.3K 359 191
                                    

Happy Reading!!

































"Ayah puas?!" Hinata menyeka kasar pelupuk matanya, iris rembulannya menghunus tajam pria paruh baya yang tengah santai menyerupt teh. "Ayah puas melakukan ini padaku?"

"Apa maksudmu kak Hinata?" Hanabi berdiri membuat tameng. "Jangan menambah beban pikiran ayah."

"Diam, kau tidak tahu apa-apa," Hinata berujar ketus, atensinya kembali tertuju pada Hiasi yang menyembunyikan iris matanya. "Sekarang apa yang bisa ayah lakukan? Tidak bisa mendapatkan Itachi-kun, dan sekarang Sasuke-kun benar-benar lepas dari genggamanku."

Gadis itu kembali menangis sesenggukan, kakinya jatuh terduduk tak kuasa menahan beban tubuhnya. "Seandainya ayah tidak serakah, aku ... aku dan Sasuke-kun sudah bahagia sekarang."

"Apa maksudmu mengatai ayah serakah," tegur Hanabi tak terima.

"Bahagia dengan hidup pas-pasan?"

Amarah Hinata memuncak. "Sasuke-kun punya posisi sendiri ayah, dia punya kuasa dan ayah bisa menjalin kerjasama dalam mengukuhkan perusahan sialan itu."

"Perusahaan saialan katamu?" Hanabi bergegas menahan tubuh sang yang siap memukul kakaknya. "Kau tidak akan hidup mewah dengan perusahan itu, dasar anak tidak tahu diri."

"Ayah sudah, tenanglah."

"Minggir."

"Kesehatan ayah jauh lebih penting dari pada mengurusi kak Hinata," Hanabi mengusap pelan lengan atas Hiasi sembari menuntunnya kembali ke sofa tunggal. "Kak Hinata sudah besar, seharusnya dia bisa mengatasi masalahnya sendiri."

"Suamiku ada apa ini?" Hikari tergopoh masuk setelah mendapat laporan dari pelayannya. Wanita itu menghampiri si sulung yang bersimpuh lengkap dengan ratapan memilukan. "Sayang ada apa ini, Hinata jawab ibu nak."

"Ibu ... hiks."

"Katakan apa yang menganggumu?"

Iris perak Hinata menyorot sendu. "S-Sasuke-kun ibu ... Sasuke-kun."

"Ada apa dengan Sasuke? Kalian sudah baikan?"

"S-Sasuke-kun," Ratapan Hinata semakin menjadi. "Dia meninggalkanku ibu ... dia benar-benar tidak peduli lagi denganku.

"Jangan diambil hati," Hikari mendekap putrinya sembari mengelus sayang punggungnya. "Nanti kita cari jalan keluarnya bersama."

"Lebih baik kau bawa putrimu keluar Hikari," Hiasi memijit pelan pelipisnya. "Kepalaku benar-benar pusing sekarang."

Hikari mengangguk setuju. "Kita bicarakan di luar ya nak, jangan membuat ayahmu semakin hilang kendali," bisiknya.

Keterdiaman Hinata membuat Hikari bergegas menuntun anak sulungnya. Apa yang akan terjadi seandainya saja ia tak turur serta menyetujui rencana suaminya. Mungkinkah putrinya ini akan hidup bahagia bersama Sasuke sekarang. Ya Tuhan apa yang harus ia lakukan, ia hanya seorang ibu yang ingin melihat anak-anaknya bahagia.


***


Sakura duduk anteng tepat disisi kiri Sasuke yang berhadapan dengan kakaknya. Pada sofa tunggal diujung sana, iris matanya menangkap presensi pria bersurai keperakan yang parasnya tak kalah tampan dari Sasuke. Hanya saja, usut punya usut pria itu sudah berumur kata kakaknya.

Ya Tuhan kenapa orang di kota semuanya cantik dan tampan, sementara orang desa kebanyakan dekil dan kumus-kumus. Gadis itu menghela napasnya pelan, dunia memang tempatnya ketidakadilan untuk orang-orang melarat sepertinya.

VibrasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang