•18: Mine?

11 1 0
                                    

Di sebuah rumah kecil sederhana. Hanya di tempati oleh dua orang sebagai Ibu dan anak lelakinya. Kini ibunya sedang menyetrika pakaian, dan Gendra sebagai anaknya kini sedang duduk menonton tv yang masih satu ruangan dengan

"Nak.. bagaimana sekolah mu?" tanya sang ibu, Lila-- ibu Gendra.

"Baik bu.."

"Tidak ada masalah?"

Gendra terdiam. Masalah? Sepertinya tidak ada. Namun jika mengingat nama Dini, masalah seperti di lipat gandakan.

"Bu."

"Iya nak?"

"Aku kasih tau keahlian aku kepada seseorang. Boleh?"

"Ibu percaya sama kamu."

"Bu. Aku bosan punya keahlian ini.." ungkap Gendra membuat Lila menghentikan aktivitasnya kemudian meliat kearah anaknya.

"Kamu gak bisa gitu Gendra.., Itu kelebihan dan kamu harus mensyukuri itu,"

"Terlalu banyak kebohongan Bu. Telinga Gendra sakit.., di mana-mana ada orang berbohong, Gendra tidak rela jika membiarkan mereka berbohong. Tapi Gendra tidak bisa berbuat apapun.." lirih Gendra menundukkan kepalanya.

"Begini sayang.." Lila mendekati Gendra kemudian duduk di samping putranya.

"Kamu jangan berprinsip untuk mengubah semua orang. Kamu hanya perlu fokus pada apa yang kamu miliki dan jangan biarkan mereka berbohong.."

'Dini? Dia milik gue atau bukan?'

•••

Beberapa hari berlalu. Hari demi hari di lewati oleh banyak orang, berbagai macam pengalaman yang membuat mereka jadikan pelajaran.

Siang itu, dua gadis berparas cantik sedang menikmati kehangatan liburan sekolah karena UN dari mereka para senior yang akan lulus nanti. Mereka duduk di taman sekolah setelah sebelumnya sudah menyelesaikan piket kebersihan.

"Udah 2 hari libur, gue belum jalan-jalan juga," Fina menjadi salah satu gadis itu menghela nafas berat, "Din, Jalan-jalan kuy.."

"Gak ah malas." Dini menjadi gadis lainnya yang berada di sebelah Fina.

"Woeeyy.. liat tuh siapa yang datang?" mata Fina berbinar melihat dua orang pria menuju kearah mereka. Dini mengikuti arah mata Fina.

Dua orang pria yang saling bergandengan pundak. Menunjukkan raut bahagia seperti sepasang kekasih.

"Ck! Makin lengket aja coeg nih bespren baru." goda Fina untuk kedua pria itu saat mereka sampai.

"Ohiya dong.." seru salah satu pria yang bernama Rafli. Mereka semakin mempererat gandengan.

Dini dan Fina yang melihatnya menunjukkan rasa jijik, "kaya gay aja lo berdua.." cibir Fina langsung.

"Oh jelas dong..." seru pria lainnya yakni Gendra. Keduanya tiba-tiba berhigh-five dengan gembira tapi bukan menggunakan tangan melainkan pantat. Sungguh.

"Wuee.. pengen muntah!" sindir Fina berlaga ingin muntah.

"idih.." cibir Dini.

Gendra dan Rafli memang selama kurang lebih 2 minggu ini selalu bersama. Menjadi status keduanya yang tadinya hanya sekedar mengenal nama kini menjadi best friend, dan Rafli menjadi sahabat pria pertama bagi Gendra. Mereka sudah saling mengenal dalam waktu dekat, hanya saja keahlian Gendra belum ia beritahu. Mungkin nanti, pikir Gendra. Justru Gendra nyaman berteman dengan Rafli karna Rafli adalah orang pertama setelah ibunya yang tidak pernah ia dengar berbohong.

Selama itu pula, Gendra jarang bermain dengan Dini dan lebih banyak waktu dengan teman barunya Rafli. Tidak merubah apapun di diri Dini, biasa saja itu perasaannya.

"Seneng banget bisa temenan sama lo bray.." ungkap Rafli melihat kearah Gendra, Gendra senang mendengarnya.

"Gue juga akhirnya bisa temenan sama si Dini" lanjut Rafli. Gendra yang mendengarnya langsung menghempaskan tubuh Rafli darinya.

"Sialan lo" umpat Gendra.

"Hahaha, bercanda bray!"

"Hahaha.." Fina ikut tertawa melihat ekspresi Gendra seolah cemburu mendengar pernyataan Rafli.

Sedangkan gadis lainnya yakni Dini. Ia hanya diam dengan muka datarnya namun seperti memikirkan sesuatu, Gendra memperhatikannya.

Satu titik saat dimana keduanya bertemu pandang. Dini memicikan matanya menatap Gendra yang kebingungan dengan tatapan Dini.

•••

"Kenapa? Lo tumben ngajak pulang bareng?" tanya Gendra yang kini sedang mengendarai motornya.

Dini masih bungkam, dengan pikirannya.

"Hm? Kenapa hayo kenapa??" Gendra memperhatikan dari kaca spionnya.

"Soal lo... Punya keahlian itu beneran kagak sih? Jadi beban pikiran gue tau itu semenjak lo marah waktu itu."

"Kan udah gue bilang."

Dini memilih bungkam lagi.

"Dini. Mau jalan-jalan gak?"


"Gak, hari ini ada acara di rumah."

"Oh.. oke.."

Seperti biasanya, Dini memilih untuk turun di halte dekat rumah saja. Karena alasan pribadi. Setelah sampai di tempat halte tersebut, Dini menuruni motor, kemudian gadis itu tiba-tiba berdiri dengan raut muka marah. Gendra yang melihatnya di buat kebingungan, apa Gendra membuat kesalahan?

"Gendra! Serius lo tuh beneran bisa deteksi kebohongan?? Soalnya gini, gue gak mau percaya tapi setelah gue pikir-pikir dari dulu kalau gue mau boong itu selalu aja lo bisa tau. Dan gue mau percaya, takutnya lo cuman bercandain gue, terus ngetawain gue karena percaya sama yang gituan.., jadi sebenarnya apa??" cerca Dini panjang lebar sampai membuat nafasnya kini sudah memburu.

Raut Gendra selama mendengar bawelnya Dini itu selalu berubah, mulai dari mengernyit dahi karena tidak mengerti, bermuka datar karena sudah mengerti, mulut mengembang senyum karena gemas melihat tingkah laku Dini itu.

"Kok lo malah senyum gitu? Berarti gak bener?"

"Beneran Dini.. gue punya kelebihan itu. Dari kecil gue memang punya kelebihan itu, dari lahir pun," jelas Gendra perlahan-lahan agar membuat Dini percaya.

Dini memilih bungkam, mungkin saja ia sedang mencoba memahami penjelasan Gendra.

Sedangkan Gendra. Detik berganti setelah menatap Dini yang penuh kebimbangan, tiba-tiba tangannya melepaskan helm yang Dini kenakan sembari berucap, "Lo udah tau kan? Jadi gak perlu lagi lo bohong-bohongan ke gue..."

___
TBC

Huaaaaakkk

GENDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang