12. Don't cry, please

38 3 0
                                    

"Thanks,"

Abzar mengangguk. Dia melambaikan tangannya ke Safara dan gadis itu membalasnya. "Kalau laper bilang ke aku,"

"Ngapain? Gue tinggal makan kalau laper," jawab Safara.

"Ya biar gue gopud'in, lo mau makan apa bisa langsung ada kalau bilang ke gue." ujarnya seraya mengangkat kedua alis.

Safara hanya mengangguk saja untuk mempercepat Abzar pergi. Sebelum kembali mengatakan selamat tinggal, tiba-tiba muncul seorang wanita bersama anak kecil perempuan.

"Mama! Kapan pulangnya?!" tanya Safara berseru. Ada perasaan senang dilubuk cewek itu. Abzar yang mendengar penuturan tersebut, ia segera melepaskan helmnya. Merapihkan rambutnya yang berantakan kemudian turun dari motor.

"Dari tadi, Mama baru kerumah Teh Sari." katanya. Safara langsung memeluk mamanya dan mencium pipi wanita itu.

Pandangan Abzar jatuh pada anak kecil yang umurnya 9 tahun, rupanya anak itu juga tengah menatapnya dengan raut tanda tanya. Selesai kangen-kangenan dengan sang mama. Akhirnya perhatian mama Safara jatuh ke laki-laki yang menjulang tinggi itu.

"Halo, Tante," sapa Abzar seraya menyalimi punggung tangan mama Safara.

"Eh, iya, jangan panggil Tante. Ih, kayak apa aja."

Abzar mengusap tekuk lehernya bingung. "Nama Mama, Imas, panggil Mama aja. Nama kamu siapa?"

"Abzar, Ma."

"Pacar Teteh ya?" seru anak gadis itu sembari menunjuk Abzar dan Safara bergantian.

Safara menggeleng keras dan mengusak rambut anak kecil itu. "Apaan sih bocil, jangan sok tau!"

"Kamu mau mampir dulu?" tawar Imas pada Abzar.

"Gak usah, Mah. Udah yuk Mah, masuk. Abzar juga mau pulang, iya kan?" Safara mengedipkan mata seolah menyuruh Abzar menuruti perkataannya itu. "Bohong, Mah, Aa-nya gak mau pulang kok. Dipaksa sama teteh, Zira liat!"

Abzar tersenyum kemenangan, dia mengangguk dengan menatap Mama Imas. "Boleh deh, Mah. Mau mampir dulu,"

Safara mendelik tajam pada Abzar namun lelaki itu hanya mengendikkan bahu. Tiba-tiba Zira menggandeng tangan Abzar, menuntunnya masuk kedalam rumah. Safara semakin kesal, adiknya itu jadi sok akrab dengan Abzar.

Sampai mereka mengobrol dan duduk diruang depan. Abzar mengamati rumah Safara yang merupakan pertama kalinya dia masuk kerumah ini. Jujur, rumahnya rapih, Safara mengurus rumah ini sendirian dan bisa merawatnya.

"Abzar teman sekolahnya Safa?"

Abzar mengangguk seraya menerima air minum dari Imas. "Iya,"

"Pacarnya atau bukan?"

Pertanyaan Imas membuat pipi Safara memerah, dia menunduk seraya memainkan ponselnya. Pura-pura sibuk. Sedangkan Abzar, dia sudah menatap Safara. Karena gadis itu sibuk sendiri jadi mau tak mau Abzar menjawab sesuai nalurinya.

"Iya, Mah. Abzar pacarnya Safara." jawab Abzar jujur. Lagipula dosa membohongi orangtua. Safara sendiri hanya bisa diam dan menahan malu karena nantinya akan menjadi bahan ejekan mamanya dan Zira.

"Aa ganteng kok mau sama Teh Safa," celetuk Zira yang sedang makan kue dengan duduk yang sedikit tidak sopan. Biasa, anak kecil kalau caper suka gitu.

"Duduknya yang bener!" omel Safara menatap tajam Zira yang hanya menyengir kearah Abzar. Anak kecil tahu aja yang ganteng.

"Teh Safa cantik soalnya, sama kayak Zira," ucapnya menggoda anak berusia 9 tahun. Reaksi Zira langsung bersembunyi dibalik punggung Imas, istilahnya anak itu salting. Mereka yang melihat hanya terkekeh.

[2] The Hidden Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang