17. Room

39 7 3
                                    

Perasaan Safara tidak tenang. Ingatannya terus memutar dihari itu. Dimana Abzar terlihat kecewa pada dirinya. Safara memang berniat confes tapi itu untuk melegakan hatinya saja. Dia juga sudah terlanjur jatuh hati pada Abzar. Bagaimana bisa perlakuan cowok itu selama ini tidak membuat hatinya goyah.

Semalam Safara telah meminta alamat rumah Abzar dari Flasha. Dia memang belum tahu dimana rumah cowok itu. Akhirnya ia bisa menghampiri Abzar dihari Minggu ini. Pakaian yang dipakai Safara hanya dress hijau dan cardigan warna putih. Simple namun terlihat menggemaskan.

Safara turun dari motor tukang ojek online, setelah membayarnya. Gadis itu mengamati rumah dan sekelilingnya. Ia mengecek alamat yang diberitahu Flasha lalu kembali melihat rumah didepannya.

"Abzar anak orang kaya," gumamnya takjub. Dia melihat rumah Abzar yang baginya itu mewah. Berbanding terbalik dengan rumahnya.

Safara memencet bel yang ada di pagar tersebut sebanyak tiga kali. Tak lama ada seseorang membukakan pagar. "Cari siapa, neng?" tanya seorang wanita berumur 30 tahunan.

"Emm, Abzar, Bu.. dia ada dirumah?" jawab Safara.

"Oh, si Aa, ada dia didalem. Ayo, masuk! Temennya si Aa, ya?" katanya dengan antusias membukakan pintu gerbang pada Safara. Gadis itu melihat sekeliling depan rumah Abzar. Ternyata lumayan penuh dengan tumbuhan dan bunga.

"Neng, si Aa kayaknya masih tidur. Neng panggil aja ke kamarnya, ya? Bisa gak? Soalnya mbak mau ke warung bentar." katanya pada Safara. Gadis itu ragu untuk ditinggalkan tapi karena dia merasa tak mau merepotkan dia akhirnya mengangguk. "Bisa, mbak."

"Yaudah kalau gitu. Kamar A Abzar teh diatas pojok deket lukisan gede, ya? Tau gak?" Safara mengangguk. "Tau mbak, makasih ya."

"Iya sama-sama, mbak tinggal ya."

Safara mengangguk dan mbak tadi itu meninggalkan Safara diruang depan sendiri. Perempuan manis itu dengan ragu mulai melangkah menaiki tangga. Dia menatap rumah ini yang sepi. Abzar bukan anak broken home, kan? Yang ditinggal terus oleh orangtuanya.

Rumah Abzar lumayan besar tetapi ia sedikit mudah mencari kamar Abzar yang diarahkan mbak tadi. Dia menatap lukisan sejarah yang lumayan besar itu, tepat disebelahnya ada kamar. Safara mengetuk pintu setelah beberapa detik berfikir.

"Semoga bener," gumamnya seraya terus mengetuk.

"Bentar!"

Suara dari dalam kamar tersebut membuat Safara tersenyum sumringah. Dia tak salah kamar, itu memang benar kamar Abzar. Tak lama pintu dibuka dan menampakkan sosok laki-laki yang masih muka kantuknya, dengan rambut acak-acakan, pakaian yang dikenakan juga kaos putih dan celana boxer hitam.

"Abzar," sapa Safara tersenyum dengan canggung. Abzar yang masih mengumpulkan nyawa itu tiba-tiba melotot menatap Safara dengan sepenuhnya sadar.

"Saf? Kamu ngapain disini?" Raut mukanya sedikit dingin membuat Safara kembali murung. Dia mengulum bibir, masih mencoba berusaha membujuk Abzar. "A-aku mau meluruskan masalah yang kemarin."

"Gak usah, kita udah selesai. Aku udah mundur demi kebahagiaan kamu." tampiknya menegaskan. Walau ada perasaan tidak rela.

"Tapi kamu salah paham, Abzar. Aku cuma confes ke dia tapi-"

"Udah, ya, Saf. Kamu mending pulang, aku sibuk, jangan buang-buang waktu kamu buat aku." cetus Abzar begitu menyakitkan dihati Safara.

Lelaki itu kemudian menutup pintu kamarnya tapi Safara menahan itu. Namun, tangan Safara malah menahan yang ditembok pintu sehingga Abzar yang tak sengaja sedikit membanting pintu malah mengenai tangan Safara. Sehingga perempuan itu berteriak kesakitan membuat Abzar membalik badan melihat keadaannya.

[2] The Hidden Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang