Third Melody

7.3K 547 10
                                    

Laura merapikan seragamnya yang tampak buluk ini. Ia lupa menyetrika seragam yang telah menemaninya selama 2 tahun terakhir ini.

Jadi ... seragamnya lecek-lecek gimana gitu!

Laura duduk manis di kursinya. Memakai earphone dan mendengarkan melodi-melodi yang menbuatnya tenang. Membuat Laura merasa lebih santai. Tanpa sadar, matanya pun terpejam.

Ia membuka sebuah gulungan tak kasat mata. Membacanya dengan saksama.

"Pada pukul 12.00 seorang Bapak akan di cabut nyawanya."

===

Laura's POV

Aku tersenyum menatapnya. Sepertinya aku sudah terbiasa menjadi penyebab manusia meninggalkan dunia manusia ini.

Bel berbunyi menayadarkan aku dari lamunan yang begitu banyak bersarang di otak kecilku ini.

"Halo ... teman baru."

Tunggu?! Kayaknya aku kenal suara berat ini. Jangan-jangan dia ....

"Maaf, Bu, saya terlambat," ucapnya manis. Namun wajahnya datar. Sama sepertiku.

Aku melotot tidak percaya. Dia menatapku sambil tersenyum miring. Sama seperti senyuman bodoh yang ia tampilkan untuk diriku.

"Ya, ya, perkenalkan lah dirimu," perintah Guru itu.

"Namaku Alfrendo Geodiatama," katanya sambil tersenyum aneh, senyum yang cukup mengerikan.
"kalian bisa memanggilku Rendo."

Aku membuang wajah tidak peduli. Huh, sudah lupakan saja. Anggap saja tidak ad--

"Kau bisa duduk di samping Laura," perintah guru itu.

Membuatku menatap guru itu dengan tajam. Bapak itu ... di keliling aura hitam yang kuat. Aku menyeringai. Dialah bapak yang nanti akan aku cabut nyawanya. Kebetulan yang menyenangkan.

"Kenapa tersenyum begitu? Ada yang aneh?" tanya nya.

"Tidak," jawabku dengan wajah datar.
Dia mengendikan bahunya, lalu membuang pandangan sama sepertiku. Dia hanya orang yang aneh.

"Laura Angelica? Hmm, kenapa ada kata 'Angel'?"

Aku tidak ingin menjawabnya. Dia terlalu bawel untuk ukuran cowok. Iya 'kan?

Aku menatap jam yang seolah bergerak dengan lamat. Ah, ralat, sangat lambat.

Bisakah hari ini berlalu dengan lebih cepat?

Laura's POV end

===

Angin berhembus lebih cepat saat Laura melintas. Seperti biasa, para manusia bergindik ngeri saat Laura melewati mereka.

Laura melayang cepat menuju sebuah jalan raya. Jemarinya dengan lincah memainkan melodi kematiannya.

Sekarang Laura berada tepat di tengah jalan raya. Mobil wali kelasnya segera membanting stir dan menabrak tembok sebuah ruko.

Laura mendekat perlahan ke orang yang hampir mati itu. "Maaf, sudah takdir mu seperti ini," kata Laura sambil menyeringai.

"Ka-kau siap-siapa?" tanya Wali Kelasnya itu.

"Aku? Aku Malaikat Kematian," jawab Laura sambil menyeringai. Laura memainkan melodi terakhir untuk gurunya ini.

Saat melodinya berhenti, sebuah cahaya keluar dari tubuhnya. Seseorang yang berada di tubuh orang itu menggeleng. "Dia telah meninggal."

Laura melayang pergi dari sana dengan wajah datarnya. Laura segera berbelok ke sebuah lorong dan berubah wujud di sana.

Keluar dengan wajah datar tanpa dosa. Laura menatap datar semua orang yang berlalu lalang di hadapannya.

Para polisi juga mulai mengecek lokasi kejadian. Ayolah, Laura bukan pembunuh. Dia hanya bertugas. Lagipula, Laura bukan lagi seorang manusia.

"Kau membunuhnya," gumam seseorang pelan tepat di samping Laura. Membuatnya kaget. Tangannya refleks terangkat dan ingin menampar sosok yang berada di sampingnya.

Tangan besar laki-laki itu menahan tangan kecil Laura. "Benar 'kan?" tanyanya.

"Tidak," Laura membuang pandangannya, "Aku hanya mencabut nyawa yang sudah harus pergi."

"Benarkah? Bukankah kau sama sepertiku?" Rendo masih memegang tangan Laura. Membuat gadis itu risih dan mulai menggerakan tangannya paksa.

"Tidak, aku memang bertugas dan memang ini adalah takdir murni manusia," jawab Laura setelah ia berhasil mendapatkan tangannya kembali.

Tangannya setia menggengam seruling yang ia gunakan tadi.

"Jangan macam-macam, atau kau akan merasakan akibatnya," ancam Laura.

Rendo tersenyum mendengar ancaman Laura yang mungkin terdengar tidak menyeramkan.

"Ah, maaf aku harus pergi ..., sepertinya tugasku sudah memanggil," ucap Rendo dengan wajah datarnya.

"Berhentilah bermain-main dengannya," nasihat Laura.

"Di sini aku bekerja," jawab Rendo sambil meninggalkan Laura.

Rendo berjalan perlahan menuju markasnya. Kabarnya ia dan kelompok kecilnya harus membunuh seorang pengusaha yang akan mengancam organisasi mereka.

"Darimana?" tanya Jenny dengan wajah juteknya.

"Habis ngapel orang yang misterius kata dia," sahut Fredy. Ia sedang mengasah pisaunya perlahan.

"Kalian apaan sih? Gue kan hanya penasaran ...," jawab Rendo sambil memainkan pistol kesayangannya.

"Udah ah, ayo kita pergi saja sekarang!" seru Jenny sambil mengacungkan pedangnya ke atas.

Rendo dan Fredy segera mengemas barang-barangnya. Mereka bertiga segera beranjak dari markas mereka itu. Memakai baju hoddie dan sarung tangan. Berjalan di bawah sinar bulan dengan udara dingin yang menusuk.

Mereka berhenti dan meyeringai bersama. Menatap sebuah rumah besar di hadapan mereka.

Fredy segera mengeluarkan laptopnya. Ia mengutak-ngatik sistem kemanan di dalam rumah besar itu. Dalam tujuh menit, ia sudah selesai mengacaukan seluruh sistem keamanan serta cctv.

"Aku sudah selesai, ayo kita bermain," ujar Fredy.

Seolah di perintah, mereka bertiga masuk dengan santai kesana. Menyebarkan sebuah parfum tidur yang di racik oleh Jenny.

Dengan langkah pasti, mereka memasuki satu persatu ruangan yang ada di dalam rumah besar itu. Sampai pada akhirnya, mereka sampai di kamar utama di rumah itu.
"Saatnya kita mulai permainan malam ini ...," bisik Rendo kepada dirinya sendiri.

"Aku duluan ya ..., aku sudah mau minum darahnya," kata Jenny sambil mengeluarkan pedang kesayangannya.

"Silakan," jawab Fredy.

Tangan Jenny segera terangkat. Senyuman miring anehnya segera terbentuk.

SLASH-BUG!

Tangan Jenny terhenti di udara. Bahkan, ia merasakan tangannya terasa di genggam sesuatu yang sangat panas. Rendo melotot dan segera menarik Jenny menjauh dari mahluk itu.

Mahluk itu tersenyum miring dan menampakan wujudnya kepada tiga orang aneh itu. Mata tiga orang itu melotot, bahkan mereka melangkah mundur serentak.

"Apa pemilik rumah ini memelihara dia?" tanya Fredy berbisik.

Rendo menggeleng pelan. Matanya menatap lurus sosok menyeramkan di hadaannya.

"Jangan ganggu ayah ku," kata mahluk itu pelan. Wajahnya sangat datar.

"Tap-tapi di-dia ka-kan target kami," jawab Jenny tergagap.

"SUDAH KU BILANG JANGAN GANGGU AYAHKU!" teriak mahluk itu. Kini aura gelap mengelilingi tubuhnya.

*

Sabtu, 6 Juni 2015

Laura MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang