Fifth Melody

6.1K 457 27
                                    

A/N : Mulmed itu ada Albert yaa!! Xoxoxo^^

* * *

Rendo menggeleng tidak percaya. Tanganya menepuk perlahan pipi Laura. Bagaimana mahluk non manusia ini pingsan? Ah, dia pingsan atau tidur?

Yang jelas Rendo memangkunya sendari tadi. Sejak tadi Laura tertidur manis di dalam pangkuannya. Sepertinya sih tidur, tapi gak tahu juga, batinnya.

Dia tidak bangum selama 3 jam. Sekarang pun fajar sudah ingin menyingsing. Rumah yang kemarin menjadi tempat mereka bertemu dengan tidak menyenangkan itu terbuka. Pagarnya terbuka dan keluarlah sebuah mobil mewah dari dalamnya.

Rendo mengalihkan pandangannya. Ia menepuk pelan pipi Laura. Namun, Lauranya masih terjebak di alam mimpi. Tanpa sadar, mobil mewah itu berada di hadapan mereka.

"Ada apa? Apa dia pingsan?" tanya seorang Pria yang kemarin di peluk oleh Laura.

"Aku tidak tahu," jawab Rendo.

"Mau aku bawa kalian ke rumah sakit? Kalian tidak melukan perbuatan yang aneh-aneh kan?" tanya Pria itu.

"Tentu tidak," jawab Rendo santai dengan wajah datar.

"Ayo kalian naiklah, aku antar ke rumah sakit," ajak Pria itu.

"Aku tidak punya uang, aku akan menunggunya bangun saja," Tolak Rendo halus.

Alis Pria itu terangkat satu. Dia menatap gadis yang sedang terlelap di sana. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Gadis itu mirip dengan dia. Seseorang yang ia rindukan.

"Baiklah, aku akan pergi," kata Pria itu sambil mengerakan tangannya. Ingin menutup jendela. Namun, pergerakannya terhenti saat mendengar panggilan halus dari gadis itu.

"Ady ..., Ara pengen ketemu Addy lagi ...."

Pria itu mematung. Dia menatap gadis itu. Apakah itu hanya ilusi? Tidak kan? Bukan kan?

Matanya mengerjap beberapa kali. "Ara?"

Rendo tidak mengerti. Jadi dia tetap menepuk pelan pipi Laura sambil menunggu Laura bangun.

Suasan hening. Pria dalam mobil mewah itu turun dari mobilnya dan menatap gadis yang sedang tertidur itu. Setiap lekukan di wajahnya itu, membuatnya rindu.

Mata Laura terbuka perlahan. Ia mengedip beberapa kali, matanya menyesuaikan dengan cahaya yang ada.

Mata hitam milik Laura segera bertemu dengan mata hitam milik Albert. Membuatnya melotot tidak percaya.

"Ara? Benarkah itu Ara?"

Laura bangkit dari posisinya nyamannya. Ia masih tidak percaya dengan penglihatannya ini. Laura duduk dan segera menunduk. Menyembunyikan air matanya di antara rambut hitamnya yang panjang.

"Ara ..., maafkan Addy ...."

Laura masih menunduk. Ia menangis dalam diam. Ia menahan suaranya yang ajan keluar jika menangis. Jika ia bisa, Laura ingin segera berubah menjadi tidak terlihat dan menangis sepuasnyan

"A-ad-addy ng-ngg-ngga s-sa-sal-salah," jawab Laura tergagap.

Laura segera bangkit dan berlari menuju lorong sepi yang sering ia kunjungi sebagai tempat pertukaran wujud. Ia berpikir bahwa Ady nya tidak akan mengikutinya.

Ia menumpahkan tangisnya di sana.

"Ara ..., maafkan Addy ..., Addy sayang Ara ...," ucapnya. Suara berat yang sangat Laura rindukan. Tangan besar nan hangat itu kembali memeluknya.

Air mata Laura seolah berhenti. Perasaan damai seolah kembali hadir.
Laura memeluk Addynya itu. Akhirnya, ia bisa saling berpelukan lagi dengan sosok yang ia kasihi.

Beberapa menit mereka hanya saling memeluk. Tanpa berbicara apapun satu sama lainnya. Melespas rindu satu sama lain.

"Ara kangen sama Addy ...," kata Laura.

"Addy juga kangen sama Ara ...," balas Albert--Ayahnya Laura.

Laura melepaskan pelukannya. Tangannya bergerak perlahan menyentuh setiap lekukan wajah Addy nya. "Addy ..., maafin Ara ...."

Kening Albert berkerut dalam. "Harusnya Addy yang minta maaf sama kamu sayang...."

Laura melepaskan pelukannya dan menggeleng. "Addy, harusnya Ara nggak ke sini dan ganggu keluar bahagia punya Addy."

Mulut Albert terbuka, ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. Tangan mungil Laura segera menutup mulut Albert. "Ara harus nya tahu, Addy udah bahagia, dan Ara tidak ada di dalam kebahagiaan Addy itu."

Laura melangkah mundur. "Addy, Jika Addy bisa berbahagia tanpa diriku," senyuman Laura mengembang, "jangan anggap aku ada, karena aku hanyalah beban buat Addy sekarang."

Laura segera tersenyum. Senyuman yang tidak pernah hadir sejak bertahun-tahun lalu. Senyumannya hanya untuk Albert, Addynya. Dengan segera, Laura berlari menjauhi lorong itu. Perlahan-lahan wajahnya kembali menjadi datar. Seolah tanpa ekspresi.

Tangan Albert mengepal. Betapa jahatnya ia sebagai ayah. Betapa menderitanya Laura. Uang tidak bisa memberikan kebaagiaan. Kasih sayanglah yang manusia butuhkan. Itu yang di alami Laura.

"Ara ..., aku adalah Ayah yang paling jahat di seluruh dunia ...."

"Oom ..., andai Oom tahu betapa menderitanya Laura selama ia sendirian," kata Rendo dari ujung lorong. Kedua tangannya di masukan ke dalam saku. Rendo menatap langit. Ia memang baru mengenal Laura, tapi ia merasakan berada di posisi Laura. Rendo berjalan meninggalkan Albert sendirian. Ia mengenakan jass nya dan segera berangkat menuju kantor, meski pikiran tetap melayang kepada Laura.

===

Laura menghela napas. Hilang sudah keiinginanya untuk bersekolah hari ini. Jadi ..., ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman saja.

Memandangi langit yang perlahan cerah menuju siang. Burung-burung bernyanyi debgan indahnya. Ia ingin, memainkan melodi untuk dua burung itu.

Tangannya mengepal. Tampaklah tangannya menggengam sebuah seruling.

Ia mulai tenggelam di dalam melodinya sendiri. Laura segera melotot dan menghilangkan kembali serulingnya. Tidak. Ia tidak boleh tenggelam di dalam melodinya sendiri.

"Kenapa? Are you okay?" tanya Rendo yang entah kapan berada di sebelahnya.

Laura tidak menjawab. Ia memandangi langit dengan wajahnya yang amat datar.

"Kenapa?" tanya Rendo untuk kedua kalinya.

Laura menatap tajam Rendo. Kemudian ia bangkit dan segera meninggalkan taman itu. Meninggalkan Rendo yang masih dengan wajahnya yang juga datar.

Laura berjalan cepat menuju sebuah toilet. Ia bukan ingin memenuhi kebutuhan biologisnya. Ah, ia ingin merubah wujudnya dan segera melayang bebas di udara, atau ..., kembali ke dunia yang penuh dengan kebebasannya.

Laura menggerakan tangannya cepat. Merubah pintu bilik toilet itu menjadi sebuah pintu gerbang hitam. Tangannya terjulur dan membuka perlahan pintu itu. Angin di dalam toilet itu berhembus dengan kuat. Menghancurkan cermin dan kaca yang berada di dalamnya.

Membuat manusia biasa terheran-heran dan langsung berlari tunggang-langgang.

Laura merasakan aura dingin saat memasuki dunia gelapnya. Rambut serta matanya semakin menghitam. Sebuah dunia kegelapan yang hanya di terangi lilin-lilin terbang yang cukup indah.

"Selamat datang kembali ..., Nona A--"
"Panggil aku Lara," kata Laura penuh penegasan.

"B-ba-baik, Nona Lara ...," kata pelayan itu takut-takut. Ia takut pada aura Laura yang lebih dingin di bandingkan dengan aura dunia gelap ini.

Senyuman miring segera tercetak di qajah Laura. Ia segera memasuki kamar yang entah di mana pintunya.

"Lara, Nama kematian ku."

=========

TBC~~~20 Juni 2015

Laura MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang