18th Melody

3.5K 292 4
                                    

Matahari pagi kembali bersinar. Seperti biasa Laura bangkit dan bersiap-siap menuju sekolah.

Tok-tok-tok.

Laura menatap pintu itu bingung. Bukannya Rendo bilang dia nggak bisa jemput ya? batin Laura. Ia melayang perlahan mendekati pintu.

"Siap--"

Ia dikejutkan oleh ke hadiran seseorang yang asing, namun pernah ia lihat.

"Ah, kau Laura Angelica?" tanya Pria yang mengenggam tangan mungil di sampingnya.

"Dia capa?" tanya anak perempuan itu. Matamya berbinar lucu menatap Laura.

"Iya, ada apa?" tanya Laura. Ia masih mempertahankan wajahnya yang datar.

"Ehm, kau bisa menjaga keponakan ku? Dia ini Tamara, adik tirimu," kata pria itu.

"Jadi--kau bukan ayah tiriku?" tanya Laura tidak mengerti.

Pria itu menggeleng. "Aku akan pergi ke singapura, dan aku tidak bisa menjaganya."

Laura menatap anak yang menatapnya dengan lucu. "Aku pelnah beltemu dengan camu 'kan?" Anak itu menunjuk-nunjuk Laura.

"Kau bisa menjaganya 'kan? Dia ini adik mu juga lho," ucap Pria itu. Dia pergi meninggalkan Tamara dan Laura.

Tamara--anak itu dengan santai masuk ke dalam rumah Laura dan duduk di sofa. "Kakak! Kita main yuk!" ajaknya.

"Aku mau sekolah, kamu main sama peliharaan aku aja ya?" tawar Laura.

Anak itu cemberut. Laura bersiul memanggil Ana. Ia segera muncul dan hinggap di bahu Laura. Anak itu tersenyum dan menatap Ana berbinar. "Kamu main sama dia dulu ya? Dia namanya Ana," kata Laura lembut. Meski senantiasa dengan wajah datar.

"Dia adik tiriku, kau jaga ya," pesan Laura. Ia segera melangkah menuju sekolah. Meninggalkan Ana dan Tamara di rumah.

"Bulung!! Ana!! Main cama aku yuk!" ajak Tamara. Ia mengangkat Ana dan mengelus-ngelusnya seperti anak anjing. Padahal, ia 'kan burung.

Ana sendiri menatap anak kecil polos di hadapannya. Wajahnya amat mirip dengan Laura, hanya saja Tamara memiliki rambut dan mata berwarna cokelat terang.

* * *

Laura menghela napasnya pasrah. Sekarang, ia harus mengurus seorang anak kecil polos yang menatapnya lucu. Adik tirinya.

Laura membuka gulungan yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Pukul 10.00 akan ada seorang siswi bunuh diri, meloncat dari atap sekolah."

Laura memutar bola matanya malas. Atap sekolah akan semakin sepi jika para manusia bodoh (yang bunuh diri) terus memutuskan bunuh diri di atap.

Laura melirik jam biru di tangannya. Lima menit lagi, pukul 10. Entah kenapa para petugas di Heaven or Hell selalu mendadak mengirimkan tugasnya.

Laura mengacungkan tangannya. Guru yang sedang mengajar di depan kelas itu menoleh. "Mau ke toilet." Setelah mendapat anggukan dari guru itu.

Laura segera bangkit. Ia melayang rendah di koridor sekolah. Menatap langit yang berwarna biru. Sangat indah. Laura perlahan merubah wujudnya.

Tudung itu kembali menutupi wajahnya. Ia menembus dinding dan segera sampai di atap. Siswi itu sekelas dengan Laura. Namun, tadi memang ia tidak masuk kelas Biologi.

"Kenapa kamu mutusin aku sih?" tanyannya pada dirinya sendiri. Laura memutar bola matanya.Di putusin terus bunuh diri, drama banget, batin Laura.

"Aku nggak bisa hidup tanpa kamu ..., aku mau pergi aja," kata siswi itu. Laura segera memainkan melody kematiannya.

Siswi itu bingung. Ia menoleh pada Laura dan jatuh terduduk. "K-ka-kau? Ma-mal-malaikat ma-mau-maut?!"

"Bukannya tadi kau ingin bunuh diri?" tanya Laura. Ia mendekati siswi itu. Siswi itu mundur perlahan-lahan sampai jatuh.

Laura kembali melanjutkan melodynya yang terputus. Sebuah cahaya hitam keluar dari tubuh gadis itu.

Cahaya hitam : ia di panggil ke Hell.

Cahaya putih : ia di panggil ke Heaven.

* * *

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Laura berjalan menuju supermarket. Ah, karena di rumahnya ada tamu. Jadi ia harus kembali masak dan makan dengan normal.

Yah, sejak Laura menjadi Malaikat Kematian, ia jarang sekali makan. Karena makan bukan salah satu kebutuhan utamanya lagi.

Karena ia malas ke pasar, jadi ia membeli bahan makanan yang instant saja. Pada sabtu nanti, ia baru akan mengajak Rendo pergi ke pasar.

"Aku pulang ...," sapa Laura. Ia melangkah masuk dan merebahkan tubuhnya ke sofa.
Baru lima menit ia bersantai. Tamara tiba-tiba meloncat dan duduk di atas Laura. Ja menatap Laura dengan mata berbinar. "Ayo kita main!!"

Laura menaikan satu alisnya. "Memangnya kamu mengenal aku ya?" tanya Laura. Ia sebenarnya cukup bingung.

Apa Ibunya pernah memberi tahukannya kenapa Tamara? Ya ..., secara logika nggak mungkin seorang anak kecil akan manja kepada orang yang tidak di kenalnya.

Tamara mengangguk semangat. "Aku kenal! Kamu itu yang ada di depan mobil sebelum Ibu tidul 'kan?"

Laura menatap Tamara. Mata cokelat terang Tamara seperti mata Ibunya. Cairan bening itu menetes dari mata Laura. Sangat aneh, karena wajah Laura yang masih datar.

Ia merindukan Ibunya, dan Ibunya pergi selamanya.

"Kenapa Kakak nangis?" tanya Tamara polos. Ia mengusap pipi Laura yang basah. Laura menatapnya tajam. Namun, Tamara sama sekali tidak takut dengan tatapan tajamnya itu.

"Mara ..., kamu panggil aku Kak Ara ya?"

Tamara mengangguk. "Kak Ala!"

Laura berjalan ke dapur dan membuat bubur instant. Ya, anak kecil seperti Tamara menyukai bubur 'kan? Pasti.

Beberapa menit kemudian, Laura kembali ke ruang tamu dan membawa semangkuk bubur. Tamara langsung berbinar menatap Laura. "Mauu!!"

Laura menyuapi Tamara dengan sabar. Ia seperti baby sister sekarang. Ana pun menaikan satu alisnya. Menatap Nonanya yang bersikap manis pada Tamara. Meski, wajahnya tetap datar.

"Mala cayang Kak Ala!"

Mara terlalu polos.

Anak kecil berumur tiga tahun yang lucu dan polos.

-

-

---TBC--Kamis 29 Oktober 2015

A/N : Aduh maapkan slow-update gini T^T, ada yang masih nunggu cerita ini? Ada yang kangen aku(?) /gaa/ Tamara lucu 'kan?!

Laura MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang