Fourth Melody

6.2K 497 1
                                    

Laura's POV

Aku menatap bintang-bintang yang tampak indah di langit sana. Sekarang sudah waktunya. Waktunya aku melihat Ayah ku yang tertidur nyenyak di kasurnya.

Jangan tanya, mengapa aku masih menyayanginya. Mungkin, karena ia masih ayah yang tidak menginginkan putrinya.

Aku merubah wujudku dan melayang cepat menuju rumah tempat aku di lahirkan. Tempat masa kecil yang indah, serta masa yang paling suram untuk diriku sendiri.

Aku menatap bangunan besar yang masih berdiri kokoh di sana. Perasaan takut pun mulai menyelimutiku. Namun, perasaan itu aku tepi begitu saja.

Aku tiba di sebuah kamar besar di rumah ini. Di ranjang itu ada ayahku dan seorang wanita cantik yang tidak aku ketahui namanya.

Dia ..., ibu tiriku. Ah, tenang saja, ayah tidak pernah membicarakan keluarga sebelumnya pada istri barunya. Bahkan, aku ragu istrinya itu mengetahuinya.

Aku menatap wajah ayahku, wajah yang aku rindukan. Aku ingin mendengar nyanyiannya. Dulu ia sering bernyanyi untuk ku. Bahkan ..., dia yang mengajari aku bermain seruling ini.

Dengan air mata menetes, aku memeluknya erat. Ayah mulai bergerak-gerak liar. Ia merasakan sentuhan aneh dan dingin dari diriku.
"Addy ...," aku berbisik dengan nada dingin, "..., aku selalu menyayangimu, aku Ara milikmu."

"Ara ...," panggil pelan seorang ayah.

"Iya, Addy , aku di sini!" seru seorang anak kecil dengan wajah berseri.

"Kamu abis ngapain cih?" tanya ayah.

"Abis nonton Addy! Aku mau belajar main seluring, biar kayak di film itu!" seruku bahagia.

"Seruling sayang ...," katanya. Aku nyengir kuda dan segera naik ke dalam pangkuannya.

"Ady, ajarin aku ya, Dy!" Pintaku manja.

"Okay, My little Princess!" serunya.

Kepalaku terasa berputar-putar. Masa lalu yang indah itu seperti film yang mengundang tawa di awal. Namun, duka di akhir.

"Addy!! Aku takut," aku segera berlari kepelukan papa.

"Takut apa sayang?" tanyanya sambil mengusap pelan kepala ku.

"Aku rasa, Addy bisa pergi kapan saja ..., aku tidak bisa hidup tanpa daddy," ucapku sambil memeluknya erat.

"Addy janji, Addy nggak akan selalu ada di dekatmu, My Little Princess."

Aku merasakan kepalaku mulai berpikir normal. Aku menatap Ayah yang sedang tidur dengan terlelap.

"Addy jahat, aku selalu ke sini, tapi Addy nggak pernah ngebales pelukanku," aku mengusap wajahnya pelan, "Addy ngelanggar janji Addy sama aku, tapi, kenapa aku selalu ke sini untuk melihat Addy?"

Aku mengecup pipinya pelan. Keriput di wajahnya mulai tampak. Beberapa helai rambutnya juga mulai memutih. Aku tersenyum sambil menghapus air mataku.

Memang aku berwajah datar, karena aku sering menangis di sini.

Aku melayang perlahan. Menatap semua photo yang berada di sana. Tidak ada photo ku dan Ibu. Seolah kami tidak pernah hadir di kehidupannya.

Kenapa manusia jahat? Dia berubah begitu cepat. Bahkan, orang tuaku. Bahkan, Daddy dan Mommy.

Aku menatap sebuah gudang yang seperti tidak pernah di sentuh. Aku membuka pintu itu perlahan. Membersihkan semua debu yang ada.
Di sana, terpampang jelas semua kenangan aku, Daddy dan Mommy. Segalanya. Aku tersenyum. Ku tuliskan sebuah surat. Aku tahu, tidak mungkin Addy membaca ini.

[Addy! Aku kangen Ady. Makasih udah ngajarin aku main seluring. Makasih udah ngasih aku tawa di hidupku. Sekarang, aku tidak mendapatkan tawa lagi. Tak ada suka di hidupku.

Aku ingin bertemu dengan Addy suatu hari nanti.

Aku kangen Addy. Aku cinta Ady.

-Ara-]

Aku segera melayang keluar dari gudang itu. Baru saja aku ingin keluar. Aku merasakan hal aneh. Aku mendengar suara langkah kaki.

Aku melotot tidak percaya. Seseorang perempuan ingin menebas Addy! Tidak! Tidak boleh! Tak akan aku biarkan kau melukai Addy!

Aku segera menahan pedang miliknya. Bisa ku lihat wajahnya yang kebingungan menatapku. Aku melihat ada dua orang lainnya.

Inikah yang di maksud dengan pekerjaannya?

Haruskah Addy kesayanganku?

"Jangan ganggu Ayah ku." Aku menunjukan diriku pada mereka bertiga.

"T-ta-tap-tapi d-di-dia ka-kan target kami," jawab gadis tergagap.

"SUDAH KU BILANG JANGAN GANGGU AYAHKU!" Ku rasakan aura gelap mengelilingi diriku.

Mata mereka bertiga melotot. Termasuk Rendo yang sepertinya kelewat terkejut. Ah, aku benci kebetulan tidak menyenangkan ini.

"Maaf, kami akan segera pergi," kata Rendo sambil menenangkan kedua temannya itu.

Aku bisa mendengar pembiacaraan di antara mereka.

"Bagaimana?! Kita sudah hampir berhasil tau! Ah, nanti kita tidak mendapat upah!"

"Kau tidak percaya?! Dia itu bukan manusia! Kau mau mati di tangannya?!"

"Iya, perkenalkan aku, aku adalah Malaikat Kematian," kataku sambil tersenyum miring.

Kedua orang itu melotot tidak percaya.

"Tidak!" teriak gadis itu tidak percaya.

Aku menatap mereka bertiga dengan wajah datar. "Jangan pernah ganggu Daddy ku, atau kalian ..., akan aku bawa pergi."

Aku menggerakan serulingku dan membawa mereka kembali keluar dari rumah ini.

"Maaf, aku hampir tidak bisa menjaga Ady," aku tersenyum menatapnya.

Laura's POV end

===

"Kok kita bisa di luar sini sih?!" teriak Jenny tak percaya.

"Sudah lah, kau dan Fredy pulang saja ke markas," perintah Rendo.

"Ta-tapi bagaimana dengan honor kita?" tanya Jenny.

"Sudah lah, ancaman dari mahluk tadi bukanlah hanya omong kosong," kata Fredy sambil menarik paksa Jenny.

Sekarang tinggal Rendo seorang diri. Ia menatao langit yang penuh dengan bintang. Hari ini misinya gagal, karena kebetulan yang tidak menyenangkan.

"Ini yang kau sebut misi?" tanya Laura yang entah kapan berada di samping Rendo.

Laura kini menjadi manusia biasa lagi. Dia menatap Rendo tajam.

"Ini hanya kebetulan yang tidak menyenangkan," jawab Rendo sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku.

Laura mengehela napas. Dia memandangi langit yang begitu cerah. Matanya menatap rumah besar yang berada di belakang mereka.

"Kenapa?"

Suara Rendo membuat Laura menoleh. "Apanya?"

"Kenapa kau melindungi Ayahmu, yang jelas-jelas tidak membutuhkanmu lagi."

Kata-kata Rendo membuat Laura mematung. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa perasaan itu ada.

Rendo tersenyum. Bukan senyuman miring atau menyeringai. Ketahuilah, ini pertama kalinya Rendo benar-benar tersenyum sejak hari itu. "Siapa sangka seorang Malaikat Maut memiliki hati sebaik Angel di balik wajahnya yang datar."

Laura tidak menyahuti perkataan Rendo. Ia menatap langit yang indah dan tenang. Laura memejamkan matanya. Merasakan terpaan angin menerpa wajahnya.

Kemudian semuanya menjadi gelap untuk Laura.

Tbc~~ 14 Juni 2015

Laura MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang