Twenty-First Melody

3.8K 289 18
                                    

Kening Jenny berkerut. "Siapa kau?"

Laura mengerjap. "Kau bisa melihatku? Apa kau ingin ehm ... mati? Bunuh diri? Sakit?" tanya Laura bingung.

"Aku bukan manusia bodoh yang mengharapkan kematian, mengapa pakaianmu aneh seperti itu?" tanya Jenny seraya bangkit dan mendekati Laura.

Mata Laura menyipit. "Kenapa kau bisa melihatku?"

"Memangnya aku apa hah? Masa tak bisa melihatmu," ujar Jenny seraya menyibak tudung hitam Laura. Ia terkejut dan segera melesat mengambil pisau dan bersiap pada posisi waspada.

"Aku yang apa," ujar Laura datar. "Sebenarnya aku bingung, jika kamu tak ingin mati, kenapa aku bisa ada di sini?"

Jenny menyipitkan matanya tak mengerti. Tangannya mencengkram kuat pisau dalam genggamannya. "Aku tak mengerti apa maksudmu."

"Aku juga tak mengerti. Apa maksud kata-katamu tadi?" tanya Laura. Tangannya bergerak dan tudungnya kembali ketempat semula, yakni menutupi separuh dari wajahnya. Jenny tampak bingung dengan itu. "Tadi kau berkata 'Kenapa Dad lebih memilih Laura dari pada aku?' Apa maksudnya?"

Jenny menatap tajam Laura. "Kau memang tak tahu apa-apa ya?"

Laura memutar seruling hitamnnya santai. "Tidak tahu."

Jenny melesat cepat ke arah Laura. Bunyi dentingan pisau yang beradu dengan seruling terdengar. Laura menatap Jenny datar. "Aku membencimu. Kau mengambil Ayahku," ujar Jenny seraya membenarkan posisinya dan siap untuk menyerang lagi.

"Kau tahu? Itu bodoh. Aku tak pernah harus meminta izin jika aku ingin mengambil Addyku kembali, karena dia miliku, hanya kau mengambilnya dan memintanya kembali, kurang sopan apa dirimu, Nona Jenny?" ujar Laura seraya membaca gulungan tak kasat mata. "Karena kau membenci seorang malaikat kematian jadi aku, Sang Malaikat Kematian berhak mengambil nyawamu."

Jenny melotot, Dengan gerakan cepat ia maju dan berusaha kembali melukai Laura, namun pelindung disekeliling Laura tak bisa ia tembus, menghasilkan tubuhnya terpental jauh hingga punggungnya menabrak salah satu pohon.

"Aku punya satu pertanyaan," Laura mengangkat serulingnya, "kenapa kau pernah ingin membunuh Addy? Bukannnya kau menyayanginya?"

"Bagaimana aku menyayangi seseorang yang tak pernah sayang padaku?" tanya Jenny sengit. "Aku membencinya, namun ketika kau datang, aku lebih membencimu." Jenny mengusap punggungnya yang terasa nyeri.

Laura menyeringai dan memainkan serulingnya. "Kau tahu? Aku ini adalah Malaikat Kematian."

Jenny melotot dan lari secepatnya meninggalkan Laura. Laura segera melayang cepat untuk menyusulnya, namun sesosok laki-laki muncul dihadapannya dan menahan langkah serta nafasnya. Rendo. "Kenapa kau menghalangi jalanku?!"

"Kau tidak boleh membunuh Jenny," ujarnya dingin.

Bulan bersinar terang angkasa sana. Malam terasa begitu sunyi bahkan tak ada suara jangkrik yang terdengar. Sepi. Hanya ada perdebatan diantara sepasang kekasih itu. Jenny telah lari tunggang langgang menjauh dari Sang Malaikat Kematian. Laura ingin sekali mengejarnya, namun laki-laki yang telah mengambil hatinya ini menahannya.

"Apa maksudmu? Aku tak bisa menentang takdir! Dia membenciku, takdirku adalah membunuhnya!" seru Laura dengan tatapan sengit.

"Dia teman dekatku sejak lama, kau telah mengambil satu rekanku dan sekarang kau ingin mengambilnya lagi? Cukup aku muak!" seru Rendo dengan mata penuh emosi.

"Apa katamu? Kau pacarku! Kau yang berkata bahwa buatmu aku adalah Malaikat bukan Malaikat kematian," ujar Laura dengan penuh emosi.

"Cukup! Aku telah membuat kesalahan, aku membencimu!"

Deg!

Laura mematung mendengarnya. Tangannya mengepal kuat dikedua sisi tubuhnya. Matanya menatap Rendo dengan tatapan membunuh. "Jadi semua itu bohong? Jadi kau cuma ingin menyelamatkan dirimu dari kematian, namun sekarang dirimu yang mencari kematian," ujar Laura setelah berhasil menerobos dan membaca pikiran Rendo.

Rendo tertawa. "Kau baru berhasil membaca pikiranku Laura sayang?"

Laura diam. Tanpa suara dan tanpa ekspresi. Hatinya teriris namun ia tak merasakan sakitnya lagi. Tubuhnya lemas tapi tak ada sedikitpun tenaga untuk jatuh sedikit pun. Laura mati rasa. "Kau mempermainkanku," geram Laura.

Rendo menyeringai. "Ya begitulah," ia terkekeh, "aku hebat 'kan?" Tangannya bergerak memainkan pisau di tangannya sesaat, lalu melemparnya. "Ayo mainkan melodi indahmu dan bunuhlah aku."

Laura diam sesaat, tangannya terangkat, dan melodi mematikan segera terdengar dari seruling hitam kesayangannya.

Aku bertanya-tanya apakah ini mimpi atau nyata, namun karena aku adalah Malaikat Kematian yang tidak bermimpi, jadi aku sadar ini adalah nyata, dan ini adalah kenyataan yang paling menyakitkan dalam hidupku, batin Laura.

Rendo tampak kesakitan mendengar melodi yang keluar dari seruling Laura kali ini. Karena ini melodi kebencian Laura yang ia tujukan pada Rendo. Laura memainkannya tanpa ekspresi, tanpa rasa, tanpa bernafas. "Aku mencintaimu dengan tulus, tapi kau mempermainkan aku," ujar Laura.

"Aku mencintaimu," ujar Rendo lirih ditengah kesakitannya.

Laura menurunkan serulingnya. Ia mendekati Rendo dan tersenyum. Tangannya berputar dan mengubah seruling hitamnnya menjadi sebilah pisau. Laura berbisik, "Omong kosong."

Krash!

Laura menusuk dada Rendo dengan pisau, lalu dia berubah menjadi abu dihadapannya. Setitik cahaya berwarna hitam muncul, sosoknya seperti Rendo. "Aku berbohong, maafkan aku," ujar cahaya itu sesaat sebelum ia menghilang.

"Bodoh. Kau pikir aku bisa memaafkanmu?" Laura berpaling dan menatap langit yang ada di sana.

Ana dalam wujud burung gagak bertengger di bahu Laura. "Jenny telah mati, Nyonya Lara."

"Terima kasih Ana," ujar Laura tangannya tergerak untuk membuka pintu dunia gelap dan masuk ke dalamnya.

---

"Addy, Kak Ala kemana?" tanya Tamara kecil setelah selesai menaiki salah satu wahana di taman bermain.

"Aku tidak tau," ujar Albert seraya menoleh ke kanan dan ke kiri. "Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres," gumamnya kecil.

---TBC, 5 Januari 2016.

A/N : Ini part terakhir ya!! Sekian. /plak/

Laura MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang