Episode 2 Mencari Jalan Keluar

28 0 0
                                    

Setahun berlalu sejak aku menuliskan kisah "FINE." Tak pernah terpikir olehku bahwa akan ada lanjutan cerita, bahwa hidupku akan membawaku pada suatu perjalanan baru yang tak terduga.

Malam itu, ketika percakapan di chat grup terbuka, aku mengajak Ananda dan Adib untuk berenang di akhir pekan. Keduanya adalah teman sejatiku selama kuliah, dan mereka berdua telah memberikan dukungan tak tergantikan dalam mengatasi perpisahan dengan Alisya. Terutama Ananda, dia adalah orang yang membantu aku melangkah maju dari hubungan yang berakhir itu.

Aku tenggelam dalam menulis "FINE" hingga dini hari, pukul 05.00. Setelah itu, aku tertidur dan terbangun pukul 09.00, hanya untuk menyadari bahwa aku telah berhalusinasi tentang pesan yang tidak pernah ada.

"Dimana kini perasaanku kepada Alisya?" Tanyaku dalam hati.

Saat jam menunjukkan pukul 12.00, aku masih terbaring di kasur. Air mata mulai mengalir, menangis atas perpisahan yang kuhadapi.

"Pernakah dia merasa seperti ini juga?" Suatu pertanyaan yang menghantui pikiranku.

Aku melihat kembali gadgetku, hanya untuk menyadari bahwa aku telah diblokir dari semua media sosial Alisya.

"Bisakah aku memperbaiki semuanya?" Tanya yang menghantui pikiranku.

"Tidak, apa yang telah terjadi tidak bisa diubah. Aku harus memperbaiki diriku untuk masa depanku sendiri," Jawaban yang kujawab pada diriku sendiri.

Hampir sepanjang hari, aku merenungi perpisahan itu. Walaupun tampak tegar pada malam perpisahan, sebenarnya beberapa tetes air mata jatuh. Pukul 18.00, akhirnya aku bangkit untuk membersihkan diri dan mencari makan. Menghabiskan waktu seharian untuk bersedih benar-benar merasakan menguras energi.

Meskipun aku tahu bahwa bersantai hanya akan mengundang rasa galau, aku memilih untuk tidak membiarkan diriku tumbang sepenuhnya.

Tengah malam, keheningan terputus oleh suara lagu "Sometimes all I think about is you" yang diputar oleh tetangga sebelah. Rasa kesal meluap dalam diriku, mengingatkan akan kegalauan yang sedang kurasakan.

"Tetangga sialan, mengadakan pesta di saat seperti ini," umpatku kesal.

Namun, rasa kesalanku tidak bisa menandingi rasa marah pada diriku sendiri. Aku merasa marah dan bersalah, mengingat betapa bodohnya aku pada malam perpisahan dulu. Tanganku memukul tembok dengan keras.

"Bodoh, sialan, kenapa kau tidak bisa lebih percaya? Kenapa kau mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya? Kau telah kehilangannya sekarang. Sakit, pedih, sunyi, sepi, semua itu adalah hasil dari ulahmu sendiri. Mengapa protes sekarang?" Aku berbicara pada diriku sendiri, sambil memukul tembok dan air mata bercucuran.

Aku menghabiskan malam dengan cara seperti itu, merasakan kegalauan yang mendalam dan merenung atas semua keputusan yang pernah aku buat.

PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang