Pria itu berada dalam mobilnya seorang diri. Kepalanya mengangguk-angguk, meningkahi hentakan dalam lagu rock rilisan terbaru Bon Jovi. Kaki kirinya perlahan menekan kopling, kemudi diputar ke kiri, mobilnya berbelok ke Jalan Teuku Cik Ditiro yang amat sepi. Ia sengaja memilih rute ini, karena sepanjang ingatannya, jika ia melewati jalan ini, ia akan sampai ke apartemennya tanpa disiksa kemacetan Jakarta.
Ia mengenakan setelan jersey basket Los Angeles Lakers, warna kuning dengan garis ungu putih. Atasan kutung itu menampakkan otot bisepnya yang kokoh. Dari balik kaca mobil, netranya mengamati jalanan yang amat lengang—tidak ada satu manusia pun terlihat di sana. Namun, beberapa kedip kemudian, netranya menangkap sebuah pemandangan yang ... agak tidak senonoh.
Sepasang dewasa muda sedang bertindihan di bawah pohon. Mobil Jeep terparkir tak jauh dari sana, dua pintunya terbuka. Kontan, mulutnya berdecak. Ada-ada saja tingkah laku muda-mudi kelebihan hormon. Bercinta, kok, di bawah pohon?
Namun, decakannya berhenti, menyadari bahwa ada yang salah dengan muda-mudi itu. Tidak, mereka tidak sedang bercinta. Si perempuan tampak tersudut dan meronta, sementara si laki-laki tampak dikuasai murka. Membanting barang kepunyaan si perempuan hingga hancur tak bersisa. Menendang paha si perempuan yang tidak berdaya. Astaga, apa ia baru saja menyaksikan adegan kekerasan di depan mata?
Tanpa berpikir dua kali, kaki kanannya menekan pedal rem kuat-kuat. Tangannya memutar kunci, hingga deru mesin mobil berhenti. Ia mesti bergegas, membuat laki-laki itu berhenti. Telat sedetik, perempuan itu bisa mati dipukuli.
***
Dhanti melongo sejenak, menyaksikan Arif yang kabur seperti ayam yang dikejar sapu lidi. Tiga detik pertama, Arif mengaduh dan mengerang. Tiga detik berikutnya, Arif berlari tunggang langgang ke mobilnya. Tiga detik kemudian, mobil itu melaju kencang meninggalkan lokasi.
Meninggalkan Dhanti sendiri.
Telapak tangan Dhanti memunguti serpihan walkman-nya dengan perasaan pilu yang tidak sedikit. Ia mengusap air mata dengan lengan atasnya. Sungguh hari ulang tahun yang sangat sial. Kalau bisa, Dhanti mau menghapus memori ulang tahun ke-20 dari ingatannya.
Gadis berambut pendek itu tidak sadar, malaikat yang menyelamatkannya sedang berjongkok sekitar satu meter jauhnya.
"Saya antar ke rumah sakit, ya?" Malaikat itu berbicara lagi.
"Enggak usah." Dhanti menunduk.
"Kalau gitu, mau saya obatin?" tawarnya.
Siapa dia? Nawarin mau obatin segala?
"Enggak usah. Biarin aja. Nanti juga sembuh sendiri." Sisa-sisa isakan yang merambat dari pita suara menggetarkan bahu Dhanti.
Hening sejenak. Angin malam berhembus, menggoyangkan dahan. Keping-keping daun tua berserakan di jalan. Malam ini dingin. Jalanan sepi. Apesnya lagi, Dhanti tidak tahu bagaimana caranya ia pulang dari sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senji ✔️ | DAINTY vol. 1
ChickLitKalau masa muda adalah masa terbaik untuk menghabiskan jatah gagal, mengapa hingga menginjak usia dewasa hidupku masih saja selalu sial? Fuck jatah gagal. Hidupku selalu sial. --- --- Dhanti "Selalu Sial" Agustina. Lahir dari hubungan terlarang memb...