41 - Api mencumbu kayu,

1.4K 248 65
                                    

Hari ini rasanya telah disinggahi Dhanti ribuan kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini rasanya telah disinggahi Dhanti ribuan kali. Rasa berat di tubuh setiap bangun pagi. Mata terbuka tetapi ruhnya terjebak di alam mimpi. Bahkan tidur pun gagal memberinya sepi, selalu ada pemikiran negatif ramai-ramai merecoki. Pemikiran tentang bodohnya ia menghancurkan masa depan sendiri. Pemikiran tentang apakah ia lebih sebaiknya meneruskan hidup atau lebih baik mati. Memangnya, hidupnya sekarang adalah hidup yang layak dihidupi?


Sekitar satu tahun yang lalu ketika Dhanti diusir dari rumahnya, sang ayah pernah menyuruh putri bungsunya untuk menyambangi kantornya setiap Jumat sore; untuk mengambil uang di bawah lemari. Kala itu, Dhanti murka sekali. Dipikirnya, sang ayah tidak peduli dan bermaksud menyederhanakan masalah super pelik menjadi sekadar perkara materi. Sejak saat itu, komunikasi antara ayah dan anak benar-benar berhenti. Seolah hubungan mereka telah mati.

Hari ini rasanya telah disinggahi Dhanti jutaan kali. Ingin mati, tetapi siapa yang akan menguburnya nanti? Ingin mati, tetapi memangnya kepergiannya akan ditangisi? Namun, Dhanti tidak sanggup melewati hari seburuk hari ini, pilihan apa yang lebih baik selain mati? Tubuhnya lemah, tidak kuat untuk mengais rezeki sementara uangnya habis sama sekali. Gadis itu  berjalan ke kampus dengan agenda: menjilat ludah sendiri.

Dhanti membungkus tubuhnya dengan berlapis-lapis baju supaya perutnya tertutupi. Lantas menggunakan masker, kacamata hitam, dan berjalan mengendap-endap supaya tidak ada yang mengenali. Ruangan Profesor Yunus tampak gelap dan sunyi.

Pikir Dhanti, ia akhirnya melakukan ini karena ia tidak punya pilihan sama sekali. Kapan-kapan, ia akan bilang terima kasih. Kalau terlampau gengsi, nanti ia akan mengganti seluruh uang ayah kalau ia sudah sukses nanti. Kalau, ya, kalau. Meskipun sepertinya ia tidak akan bisa mencapai apa-apa dalam hidupnya. Rentetan mimpi buruk ini resmi membuatnya nyaris gila.

Sialan. Pemikiran intrusif kembali muncul, seperti sulur-sulur berlendir tebal yang menggeliat mencekik lehernya. Gadis berambut pendek itu menegakkan bahu, supaya tidak terdistraksi apa yang ada di depannya. Ayah bilang, beliau menaruh uang di bawah lemari; dan dari sekian banyak lemari di ruangannya, hanya lemari yang ada di hadapan Dhanti yang paling mungkin dimaksud Ayah.

Lemari klasik tersebut terbuat dari kayu jati, dengan kaca transparan yang memperlihatkan tumpukan arsip di dalamnya. Terdapat celah kolong di bagian bawah lemari yang tingginya kira-kira dua puluh senti. Telapak tangan sang gadis merabai bagian bawah lemari yang terasa halus seperti kertas—dan ternyata itu memang kertas. Amplop kertas, rupanya. Dhanti mencabut amplop tersebut, lalu ia terawang ke arah lampu. Satu buah amplop yang berisi dua lembar sepuluh ribu rupiah. Bahkan lebih besar dari bayaran Dhanti sekali mengajar.

Dhanti kembali menggeledah permukaan bawah lemari. Lantas menemukan satu amplop lagi. Kemudian ada amplop yang lain. Gadis itu memutuskan untuk mengibaskan tangannya ke segala arah dan amplop yang berjatuhan terus bertambah. Satu. Dua. Tiga. Sepuluh. Dua puluh. Tiga puluh. 

Senji ✔️ | DAINTY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang