Letupan mesin Vespa meramaikan malam sunyi. Angin menerpa pakaian mereka, membuat bulu kuduk merinding. Perjalanan ditempuh tanpa kata. Udin yang berupaya menjinakkan rasa bersalah dalam dada. Dhanti yang diliputi sesal tak terkira. Serta makhluk kecil yang tampak tak bisa apa-apa—tetapi raut mungilnya bagai sanggup merekam suasana. Ada raut kecewa di kulit rapuhnya.
Saat Udin menarik rem dan memperlambat motornya, suara mesin berangsur-angsur berubah. Dengungan semula nyaring konstan ditutup oleh semburan tegas seperti suara tersedak. Seolah-olah benda itu mengeluarkan desahan lega setelah menempuh perjalanan jauh. Suara itu bergema di keheningan malam, menandakan kedatangan Udin di tempat tujuannya.
Gigi Dhanti bergemeretak saat turun dari motor sambil menggendong bayi perempuannya erat-erat. Rumah Udin menjulang di depan mereka, bangunan luas yang dikelilingi taman hijau subur. Hangat dan bersahaja; begitu akrab di jiwa. Dari sini, Dhanti dapat mengenali siluet seorang wanita berdiri di ambang pintu, wajahnya terukir keprihatinan.
"Amal! Kok gak pakai baju?" ujar Tante Hanafi lantang, mengomentari sang putra yang baru datang. Sudah satu jam lebih wanita itu menunggu anak bungsunya yang tiba-tiba pamit keluar rumah di tengah malam dan bertelanjang dada begitu pulang.
"Assalamualaikum, Bu." Udin mencium tangan sang ibu.
"Waalaikumsalam." Wanita paruh baya itu mampu mendengar suara jantungnya sendiri. Putranya bilang, ia pergi menjemput Dhanti serta bayinya; dan ini adalah keadaan darurat. Sang ibu pikir, anaknya hanya bercanda. "Sana, cepat pakai baju!"
Sementara Dhanti mematung ragu, mata Tante Hanafi membeliak kaget menyaksikan gulungan kain yang bergerak-gerak di gendongan gadis itu. Ada bayi mungil di sana, suara tangisnya lirih tapi cukup jelas di telinga.
Tanpa bisa dicegah, banyak tanda tanya menguasai. Bagaimana mungkin Dhanti sudah punya bayi? Bukankah gadis itu belum menikah? Apakah dia menikah diam-diam? Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, Tante Hanafi mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda syok di wajahnya. Wanita itu dengan cepat tersenyum menyambut Dhanti.
"Mari, Nak. Masuk. Dingin, lho, di luar."
Dhanti baru pertama kali melihat Tante Hanafi tanpa kerudung putihnya. Rambutnya digerai. Ikal dan tipis, panjangnya sebahu. Ibu dari tiga anak itu mengenakan daster batik. Tak jauh dari sang ibu, dua anak laki-lakinya berdiri dengan mulut separuh menganga. Sang gadis tersenyum kikuk. Menyadari ada tiga pasang mata yang perlu dipuaskan hasrat penuh tanyanya, tetapi ia terlalu lelah untuk menjelaskan.
"Kamil, tolong kamu ke toko, ambil waslap, kain bedong, sama sabun untuk bayi. Ambil semua perlengkapan bayi yang ada, bawa saja semuanya ke sini. Terus, kamu masak air hangat dua panci. Siapin kamar mandi depan dan kamar mandi tengah. Ibu mau mandiin anaknya Dhanti," titah Tante Hanafi.
Mata sang wanita berputar ke putra keduanya. "Maul, tolong buatkan teh manis hangat dan ambil camilan sisa pengajian tadi. Kamu sajikan ke sini, terus kamu siapkan kamar depan untuk Dhanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senji ✔️ | DAINTY vol. 1
ChickLitKalau masa muda adalah masa terbaik untuk menghabiskan jatah gagal, mengapa hingga menginjak usia dewasa hidupku masih saja selalu sial? Fuck jatah gagal. Hidupku selalu sial. --- --- Dhanti "Selalu Sial" Agustina. Lahir dari hubungan terlarang memb...