52 - pertemuan indah berakhir bahagia.

4.6K 287 62
                                    

Jakarta, 1995

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 1995

Saat jarum jam terus bergerak tanpa henti dan halaman cerita terus berganti. Siang berbaur menjadi malam, minggu bermuara pada bulan, membawanya mengikuti arus kehidupan. Mata sendunya menyaksikan pergantian musim, angin kencang yang mengeringkan luka, rona gembira di pipi anaknya dan menyaksikan doa mulai bermekaran di telapak tangan ia. Perlahan-lahan, kilau asa kembali berkumpul di matanya.

"Gimana rasanya sebulan jadi residen?" tanya Udin, sambil mengaduk kuah sotonya.

Dhanti tersenyum geli. Udin terlalu sering makan soto. Jika seseorang membedah tubuh pria itu, pasti darahnya berwarna kuning bening dan bau rempah-rempah.

"Hmm. Seru. Capek. Menantang. Tapi gak punya uang." Netra Dhanti berpendar menyapu suasana rumah sakit yang cukup ramai. Rumah sakit ini akan menjadi rumahnya selama lima tahun ke depan sebagai PPDS Bedah. Selama lima tahun ke depan pula, ia akan kembali berstatus sebagai mahasiswa. Tidak punya uang. Itu tandanya, ia harus memikirkan cara lain untuk membanting tulang.

"Jangan terlalu capek. Jaga kesehatan terus," celetuk Udin datar.

"Kamu, tuh, yang sakit-sakitan!" cibir Dhanti, menjulurkan lidah. "Ingat, Mal. Kalau sakit jantungmu kambuhan, nanti diobatin sama si Banyu, lho!"

Refleks, Udin memegangi dada kirinya. "Amit-amit."

Dhanti terbahak hingga gigi rahangnya menyeruak. Bibir Udin membentuk busur kecil.

"Sebenarnya, aku sedih karena waktuku banyak tersita—aku jadi jarang ketemu Ody." Bibir Dhanti mengerucut. 

Berpamitan pada Ody setiap pagi, menghirup aroma rambutnya dalam-dalam, dan memeluknya erat-erat—rasanya menyedihkan sekali. Kalau bisa, Dhanti sungguh ingin menghabiskan seluruh waktunya untuk Ody.

Iris cokelat terang itu membidik wajah Dhanti. "Tapi, kan, kamu melakukan ini semua demi Ody juga."

"Iya, sih." Wanita itu melempar pandangannya kepada bulir-bulir nasi.

"Kamu...." Udin berdehem. "Banyak yang deketin?"

Netra Dhanti membulat, tidak menyangka Udin akan bertanya begitu. "Lumayan."

Pria di hadapan Dhanti diam saja.

"Cembokur nih ye," goda Dhanti.

"Cih." Udin memutar mata.

"Yah, namanya juga Bedah. Banyak cowoknya. Ngelihat cewek sebiji, langsung jelalatan. Wajar." Bahu Dhanti naik turun. "Tapi setelah mereka tahu aku sudah punya anak, beberapa dari mereka langsung mundur, sih."

"Beberapa?" Pria itu mendelik tak suka.

"Dan setelah mereka tahu aku punya pacar di Ortopedi dan pacarku adalah residen yang itu, yang 'paling ganteng se-rumah sakit'---mereka semua langsung mundur," sambung si wanita sambil mengibas rambutnya. Ia terlihat segar dengan rambut berpotongan pendek rapi.

Senji ✔️ | DAINTY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang