32 - luruh rapuh penuh cela.

1.3K 203 81
                                    

Jakarta, 1988

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 1988

Bandung beserta cerita buruk di dalamnya telah mengangkat cahaya dari wajah pria itu. Kilau kulitnya meredup, bibirnya pucat dan pecah-pecah, kelopak matanya menggantung kuyu. Seraya netranya bolak-balik mengekori pergerakan Dhanti, sepasang alis tebal itu berkerut. Kening tengahnya mengernyit, mulutnya ia rapatkan. Kecemasan begitu setia menyelimuti rautnya akhir-akhir ini.

"Kamu yakin, kamu gak kenapa-kenapa?" Gadis yang hanya mengenakan pakaian dalam itu duduk di sebelah Lukas yang tengah berbaring lemah. "Semenjak dari Bandung, kamu kelihatan kurang fit, lho."

Lukas tersenyum tipis, ia membenarkan selimutnya. "Saya baik-baik saja."

Dhanti mendecak sambil membenarkan tali kutang. Ia berjingkat ke arah lemari Lukas. "Jangan bohong, deh. Gini-gini, saya calon dokter, tau?"

Pria itu terkekeh. Memandangi punggung Dhanti dari sini. Sudah berminggu-minggu ia dihantui kenyataan bahwa cepat atau lambat, gadis itu akan pergi. Setiap malam, Lukas merengkuh Dhanti erat-erat dalam tidurnya, mengubur wajahnya di tengkuk sang gadis.

"Lukas, saya terlalu sibuk skripsi sampai lupa nyuci. Baju saya kotor semua. Apa boleh saya pinjam bajumu?" Dhanti menarik kemeja kotak-kotak warna merah kesayangan Lukas. Kainnya mulai berbulu akibat terlampau sering dicuci. "Saya pinjam yang ini."

"Iya, boleh." Lukas mengangguk.

"Asyik! Makasih!" Gadis itu memekik riang. Dengan cepat mengenakan kemeja berbahan flanel itu. Kemeja tersebut sangat longgar di tubuhnya. Potongan bahunya jatuh di lengan atas. Lengannya kepanjangan, ia gulung sampai siku. Ujung bawah kemeja itu menutupi setengah paha Dhanti.

Dhanti mematut-matut diri. Ia tampak lucu mengenakan kemeja Lukas. Seperti kucing kecil yang terjebak di karung beras. "Cantik, gak?"

"Cantik," tanggap Lukas singkat.

Gadis itu bersorak mungil. Tangan kurusnya mencopot segepok pamflet dari dalam tas-nya, lalu memamerkan tumpukan kertas tebal itu pada sang kekasih. Mata Lukas spontan membeliak.

"Surprise!" Dhanti cengar-cengir. "Saya minta adiknya Emir desain pamflet klinik kamu. Ini, sudah jadi."

Lisan Lukas terkunci kala meninjau pamflet berdesain dominan kuning, dengan ikon peri berambut pendek. Gadis yang satu ini tidak pernah main-main dalam mendukungnya. Betapa fakta itu menambah rasa pahit di lidah---bahwa ia telah menyeret gadis ini ke dalam hidupnya dengan gegabah.

Dhanti menunjuk gambar tooth fairy di pojok bawah pamflet. "Ada saya di sini. Numpang narsis, ya. HAHAHAHAHA!"

"Mulai hari ini saya bakal sebar pamflet klinikmu. Nanti bakal saya titip ke Tanaya juga. Semoga setelah ini, klinikmu jadi lebih rame!"

Lukas tidak menjawab. Hanya menarik Dhanti dalam peluk, agar gadis itu tidak menyadari badai dalam matanya. Dhanti tidak bisa melihat wajah Lukas. Namun, ia dapat merasakan dagu Lukas bertumpu di puncak kepalanya. Lengan sekokoh batu menekan punggungnya keras-keras. Tubuh Lukas mengikat tubuhnya, seolah mampu melumatnya dan menjadikan raga mereka menyati. Dalam beberapa detik bernama kedamaian, alur napas mereka beriringan, dan irama jantung mereka bersahutan.

Senji ✔️ | DAINTY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang