Jarum jam mengitari angka-angka mungil di pergelangan tangan, menandai waktu terus berjalan. Malam ini, untuk pertama kalinya, Rhapsody akan tampil di luar lingkup Fakultas Kedokteran. Tepatnya di Tanamur, diskotek paling tersohor di bilangan Jakarta. Sudah beberapa minggu belakangan, Banyu dan kawan-kawannya berlatih penuh dedikasi.
Seiring malam menggelap, pengunjung mulai memadati ruangan nan gemerlap. Seluruh anggota Rhapsody bersiap-siap. Situasi di Tanamur menjadi semakin tegang dengan setiap menit berganti. Karena sang vokalis belum juga nampak batang hidungnya meski waktu penampilan tinggal sebentar lagi.
Keringat telapak tangan Emir membasahi stik drum yang sedari tadi ia genggam. Mini menggigiti kukunya dengan cemas, menyaksikan riuh muda-mudi yang antusias di saat band mereka masih jauh dari kata siap. Sementara Udin celingukan, memicingkan mata cokelatnya ke arah pintu masuk; Banyu mondar-mandir tidak karuan sambil mengoceh tiada henti.
"Koyoke kon iki sing paling santai—kayaknya lo ini yang paling santai. Lu telepon Dhanti, deh!" suruh Banyu pada Udin, mengomentari gestur tubuhnya yang pasif dan mukanya yang nir ekspresi.
"Bukan santai. Muka gue emang begini," ketus Udin. Ia malas harus berjalan beberapa puluh meter menuju telepon umum terdekat. "Kenapa gak lo aja yang telepon?"
Banyu berkacak pinggang. "Kon lhoo sing nelpon! Kan haruse kon gawe njemput Dhanti. Lha kok kon datang dewean?---Lu lah yang telepon! Kan tanggung jawab lu ngejemput Dhanti. Kenapa lu malah datang ke sini sendirian?"
Udin menghela napas supaya emosinya melandai. "Kan udah gue bilang, Dhanti gak ada di studio dari tadi sore. Gue udah dua kali bolak balik, udah tunggu satu jam lebih—"
"Laa ilaaha ilallah! Arek congok iki—anak bloon ini!" Banyu menepok jidat. "Mbok yo, dicari! Ojo ditunggukno, tok! Lima menit lagi kita tampil, saiki vokalise gurung mlebu, lha piye?---Harusnya lu cari! Jangan ditungguin aja! Lima menit lagi kita tampil, sampai sekarang vokalisnya belum datang. Gimana ini?"
Udara berembus kasar dari hidung Udin. "Lo nyalahin gue, Nyu?"
Sebelum Banyu menyemburkan balasan nyelekitnya, Emir keburu melerai. "Udah, udah! Jangan bertengkar! Gak ada gunanya bertengkar di situasi kayak gini"
Baik raut wajah Emir maupun Banyu sudah mengeras, siap melontarkan argumen. Namun, melihat mata Mini yang berkaca-kaca, mereka kompak bungkam.
"Kak Dhanti masih belum datang," lirih Mini. "Jangan-jangan, terjadi sesuatu?"
Mini ada benarnya. Dhanti bukan tipikal manusia yang lari dari tanggung jawab. Pasti ada sesuatu yang serius menimpa dirinya. Jika tidak, maka siapa yang bisa jelaskan ke mana gadis itu hilang?
"Babahno!---masa bodoh!" gerundel Banyu. Lensa kacamata tidak mampu melembutkan sorot garangnya. "Pokoknya, Dhanti sudah mempermalukan kita. Kalau aku ketemu dia, bakal aku marahin habis-habisan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senji ✔️ | DAINTY vol. 1
ChickLitKalau masa muda adalah masa terbaik untuk menghabiskan jatah gagal, mengapa hingga menginjak usia dewasa hidupku masih saja selalu sial? Fuck jatah gagal. Hidupku selalu sial. --- --- Dhanti "Selalu Sial" Agustina. Lahir dari hubungan terlarang memb...